KONFLIK DALAM BERITA


 

Author: Lisa Lindawati

 

ABSTRAK

Media di Indonesia seperti tidak berdosa ketika memberitakan konflik. Berbekal pada prinsip objektivitas, memberitakan apa adanya, media tidak jarang justru menyulut konflik baru. Pertanyaannya adalah, apakah objektivitas tersebut salah? Atau pemahaman terhadap objektivitas yang salah? Konflik adalah salah satu nilai berita. Tidak heran jika media senantiasa memberitakan konflik. Masalahnya adalah bagaimana media memberitakan konflik. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi bagaimana sebenarnya memahami objektivitas dalam pemberitaan konflik. Pemahaman ini menjadi penting untuk menempatkan media sebagai pendukung ketahanan nasional. Informasi yang benar dan jelas menjadi kunci penting untuk mewujudkan negara Indonesia yang berdaulat, bukan informasi provokatif yang justru membahayakan pertahanan tersebut.

 

Pendahuluan

Konflik adalah salah satu nilai berita yang kuat. Tidak mengherankan jika media ‘hobi’ untuk memberitakan konflik. Tidak heran pula jika konflik menjadi salah satu ‘favorit’ media untuk menjadi sebuah headline. Namun, ada keresahan ketika media memberitakannya dengan dramatis. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana media memberi judul pada berita-berita konflik. Selain itu, rasa dramatis juga direpresentasikan dari cuplikan kejadian yang diliput, baik dalam bentuk foto maupun audio visual. Belum lagi ditambah dengan narasi yang menambah kengerian audiens.

Jika pertanyaannya adalah, apakah konflik-konflik tersebut benar-benar terjadi? Sungguh sebuah penodaan besar bagi media jika jawabannya tidak. Sebab, hal tersebut memang benar-benar terjadi. Pembakaran, perkelahian, pengeboman, kerusuhan, penjarahan, dan masih banyak lagi memang sedang banyak terjadi di negara ini. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah harus seperti itu menyajikan kebenaran konflik?

Objektivitas menjadi isu sentral dalam kode etik jurnalistik. Menyajikan sebuah fakta apa adanya fakta. Namun, jika melihat berbagai pemberitaan kasus konflik, sepertinya objektivitas tersebut perlu dikaji ulang. Itulah fokus dari tulisan ini. Mencoba untuk menelusuri konsep objektivitas dalam jurnalisme. Apakah objektivitas yang diterapkan dalam pemberitaan konflik, khususnya di Indonesia, memang sudah tepat. Ataukah perlu ada pendefinisian ulang terhadap konsep tersebut. Jika memang perlu, bagaimana bentuk objektivitas yang sesuai dalam pemberitaan konflik.

Kepentingan untuk mengkaji ulang objektivitas dalam berita konflik tidak dapat dilepaskan dari peran media sebagai pendukung ketahanan nasional. Dalam pengertian luas, ketahanan nasional dapat didefinisikan sebagai sebuah kekuatan yang menjaga eksistensi dan kedaulatan dari suatu negara. Disinilah peran semua elemen dalam menciptakan pertahanan tersebut menjadi penting, termasuk di dalamnya media. Ketersediaan informasi yang benar menjadi penting untuk menjadi bekal pengambilan keputusan yang tepat dalam menjaga eksistensi dan kedaulatan tersebut. Kebenaran informasi itulah yang akan dikejar dalam memahami prinsip objektivitas dalam berita konflik.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan memulainya dengan penjelasan mengenai objektivitas dalam jurnalisme itu sendiri. Ada pergeseran perspektif yang harus ditangkap dalam mendefinisikan objektivitas. Kemudian, penulis akan memaparkan mengenai konflik. Penjelasan ini bertujuan untuk memberikan frame pemahaman mengenai peristiwa konflik. Selanjutnya, merangkum dari dua konsep tersebut, objektivitas dan konflik, penulis memberikan beberapa pemikiran para ilmuwan yang concern dengan jurnalisme dalam konflik. Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi acuan untuk menempatkan pemahaman objektifitas berita konflik dalam konteks Indonesia.

 

Memahami Objektivitas dalam Jurnalisme

Objektivitas adalah pusat dari etika media. Objectivity is the media’s natural and ideal public ethic (Kaplan, 2010). Menyajikan peristiwa berdasarkan fakta di lapangan. Begitu kiranya pemahaman sederhana dari term tersebut. Setidaknya itulah pemahaman mengenai obektivitas dari paham realisme, yang mencita-citakan bahwa media bisa menjadi sebuah cermin kebenaran (truth). Kebenaran ditekankan pada akurasi observasi terhadap suatu kejadian. “True beliefs fit with or correspond to the world as it really is”(Ward, 2009). Dalam praktik jurnalistik, media tidak seharusnya menambahi atau mengurangi apapun dari sebuah fakta atau peristiwa yang terjadi. Ward (2009) memaparkan,

“A report is objective if and only if it is a factual, accurate recording event. It reports only the facts, and eliminate comment, interpretation, and speculation by the reporter. The report is neutral between rival views on an issue.”

 Media tidak diperbolehkan, bahkan untuk sekedar memberikan interpretasi dan analisis dari sebuah peristiwa. “It is the mission of the reporter to reproduce facts and the opinion of others, not to express his own” (Ward, 2009). Itulah pandangan ‘konvensional’ dari makna objektivitas jurnalisme.

Setidaknya ada 6 standar objektivitas dalam berita (Ward, 2009). (1) faktual, sesuai dengan fakta yang sudah diverifikasi; (2) seimbang dan fair (balance and fairness); (3) non-bias; (4) independen; (5) non interpretation; (6) netral. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Denis McQuail (2010). Dalam konsep McQuail, objektivitas dapat dilihat dari dua hal. (1) Factuality, dimana didalamya harus mengandung kebenaran, informatif, dan relevan terhadap kebutuhan masyarakat. (2) Impartiality, yaitu memberitakan dengan seimbang dan netral.

Lebih lanjut, McQuail menjelaskan setidaknya ada tiga poin krusial yang harus dipahami mengenai objektivitas dalam praktik jurnalisme. Pertama, media harus menyediakan informasi yang memadai dan relevan mengenai peristiwa dalam masyarakat dan dunia global. Kedua, Informasi harus objektif dalam pengertian faktual, akurat, jujur, cukup lengkap, dan sesuai dengan kenyataan, dan reliabel dalam pengertian sudah melalui proses kroscek dan terhindar dari opini. Ketiga, Informasi seharusnya seimbang dan tidak terpotong (impartial), memberikan perspektif alternatif dan interpretasi dalam bahasa yang tidak sensasional, tidak bias. Upaya ini dilakukan seoptimal mungkin.

Dibawah sebuah objektivitas, jurnalis mengadopsi metode para ilmuwan alam dan ‘berjanji’ untuk mengurangi nilai kepercayaan mereka sendiri dan juga nilai yang mengarahkan, mengurangi, ataupun menambahkan apa yang sudah dikatakan dan dilakukan. Tujuannya adalah untuk menghindari penilaian subjektif dan analisis. Jurnalis harus berjuang untuk memberitakan secara holistic. Jurnalis harus menjadi seorang kolektor informasi yang profesional. Seperti disampaikan oleh pendiri Fox (Ward, 2009), “We report, You decide”. Jurnalis hanya bertugas untuk melaporkan, dan tugas masyarakatlah untuk memutuskan apa yang harus dilakukan ataupun bagaimana menilai sebuah berita.

Seorang reporter yang objektif sudah seharusnya terpisah dari peristiwa. Mereka harus mengeliminasi semua opini. Mereka hanya sekedar melaporkan fakta. Objektivitas dianggap sebuah metode untuk memproduksi dengan akurat, pelaporan kebenaran, dan menunjukkan independensi seorang jurnalis profesional. Namun, ternyata pemahaman ini tidak diterima secara utuh oleh semua kalangan jurnalis. “Today, the pillar of truth andobjectivity show serious wear and tear” (Ward, 2009).  Ada yang ‘keberatan’ dengan pemahaman konvensional atas objektivitas. Pandangan ini mendapat banyak kritik karena mengabaikan fungsi lain dari jurnalisme itu sendiri.

Untuk memahami ulang mengenai objektivitas, perlu kiranya kembali memahami peran pers di tengah masyarakat. Istilah yang paling sering digunakan untuk menjelaskan peran pers dalam masyarakat adalah ‘The Fourth Estate’.  Istilah ini tidak berdefinisi tunggal tetapi merujuk pada pengertian yang sama, yaitu mengenai relasinya dengan masyarakat dan demokrasi. “The idea of the fourth estate, and therefore the meaning of news and journalism and their relationship with democracy and society” (Berry, 2005). Hampton (2010) menjelaskan dua model  peran pers terkait dengan kekuatannya sebagai pilar keempat. Pertama, pers adalah jembatan antara masyarakat dengan negara. Dalam konteks ini, tugas pers hanyalah meyakinkan semua warga dapat berkomunikasi antara satu dengan yang lain, termasuk dengan negara. Kedua, representative model, dimana pers tidak hanya sekedar penghubung tetapi juga mampu menjadi ‘wakil’ dari masyarakat. The press reflected readers interest.

Kedua model ini mempunyai pengaruh signifikan terhadap pemahaman atas objektivitas. Dalam pandangan pertama, tidak berbeda dengan pandangan konvensional, bahwa seorang jurnalis sudah cukup sekedar melaporkan fakta saja. Hal ini cukup memenuhi fungsi sebagai penghubung antara masyarakat dengan negara. Sedangkan dalam pandangan kedua, pemahaman konvensional tidak cukup mewakili fungsi pers yang sebenarnya. Sebagai representasi dari masyarakat, media tidak dapat hanya berhenti pada menyampaikan fakta. Ada fungsi lebih ‘dalam’ yang harus dipenuhi oleh pers.

Secara ideologis, ada beberapa alasan keberatan terhadap objektivitas ‘konvensional’ (Ward, 2009). Pertama, objektivitas dianggap hanya sebuah mitos yang tidak akan dapat benar-benar dicapai. Kedua, membuat jurnalis harus menggunakan format baku. Hal ini menyebabkan tulisan tersebut miskin akan analisis dan interpretasi. Objektivitas mengabaikan fungsi lain dari pers itu sendiri, seperti komentar, kampanye, maupun berperan sebagai ‘anjing penjaga’. Ketiga, membatasi kebebasan pers. Demokrasi lebih baik diwarnai dengan beragam opini sehingga muncul ‘marketplace of ideas’.

Selain faktor ideologis, Ward (2009) juga menjelaskan beberapa faktor eksternal yang menyebabkan objektivitas maupun kebenaran ‘konvensional’ mulai disangsikan. Pertama, post modern scepticism mengenai kebenaran objektif. Henry Luce (Ward, 2009) mengatakan, “Show me a man who thinks he is objective and I’ll show you a liar”. Dia berpendapat bahwa dalam dunia yang kompleks perlu ada penjelasan dan interpretasi.  Kedua, kesinisan terhadap kode etik yang dikalahkan oleh motif pencarian keuntungan industri media. Ketiga, jurnalisme ‘non-objective’ adalah terbaik untuk pembentukan wacana yang interaktif.

Terkait faktor eksternal kedua yang dipaparkan oleh Ward, Kaplan (2010) berpendapat bahwa keberadaan pers sebagai fourth estate diganggu oleh komersialisasi. Ada beberapa hal yang mendorong terjadinya komersialisasi. (1) perkembangan teknologi menimbulkan konglomerasi media, mengingat biaya produksi tinggi; (2) sebagian besar media merupakan konglomerasi dari industri non media; (3) pergeseran nilai berita menjadi hal-hal yang cenderung menarik pengiklan; (4) orientasi terhadap profit menyebabkan penekanan besar-besaran terhadap biaya perolehan berita (newsgathering).

Penjelasan lain yang dapat membantu memahami kondisi ini disampaikan oleh Alan McKee dalam The Public Sphere : An Introduction (2005). Menurunkan dari konsep Jurgen Habermas, media dipahami sebagai sebuah public sphere (ruang publik), dimana didalamnya dibentuk wacana yang berguna bagi kepentingan bersama. Public interest menjadi sebuah istilah yang mencerminkan tujuan dari keberadaan ruang publik tersebut. Namun, keberadaan ruang publik saat ini sudah teracuni setidaknya oleh lima hal. Pertama, trivialization, dimana ruang publik dipenuhi dengan hal ‘remeh temeh’. Implikasinya adalah pada wacana yang dihasilkan oleh keberadaan ruang publik, termasuk di dalamnya media. Kedua, commercialization, seperti yang telah dipaparkan oleh Ward, bahwa media sudah dikooptasi oleh kepentingan bisnis. Orientasi terhadap keuntungan mematahkan semangat menjunjung kepentingan bersama. Ketiga, spectacle, ruang publik kita dipenuhi oleh ‘masyarakat penonton’. Kecenderungan hanya menikmati dan menonton sebuah peristiwa menurunkan secara drastis real engagement masing-masing individu dalam mengupayakan pemenuhan kepentingan bersama. Keempat, fragmentation, dimana ruang publik sudah terpecah sedemikian rupa yang meminimalisir kesatuan ide dan wacana. Kelima, Apathy, yaitu terdiri dari individu-individu yang apatis terhadap kepentingan bersama.

Keadaan ini membuat  objektivitas yang dicita-citakan kaum realis semakin terdistorsi. Hanya saja hal ini tidak boleh kemudian membuat seorang jurnalis mengorbankan ‘objektivitas’ dan menyerah kepada keadaan menyulitkan. Yang harus dilakukan adalah mendefinisikan kembali objektivitas tersebut. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan kembali pada hakikat awal keberadaan pers itu sendiri. Jika kemudian kita masih percaya dengan peran pers sebagai ‘The Fourth Estate’, sudah sepatutnya kita kembali pada komitmen untuk menjunjung tinggi kepentingan publik, dalam kaitannya dengan demokrasi. Pers, dalam keadaan bagaimanapun, harus tetap mampu berkontribusi dalam menumbuhkan iklim demokrasi yang sehat, dengan menjunjung kepentingan publik. Lippman (Ward, 2009) mengatakan, “only served democracy if it provided objective information about the world, not ‘stereotypes”.

Selalu ada konflik kepentingan yang muncul dalam aktivitas keseharian seorang jurnalis. Konflik tersebut dapat muncul diantara berbagai pilihan moral, tentang kebutuhan publik dan apa yang ingin diketahui, dan juga motif keuntungan, individu reporter itu sendiri, politik, agama, dan bias lainnya. Konflik ini memunculkan ketegangan mengenai refleksi pilihan moral tentang bagaimana melaporkan fakta. Meskipun demikian, ada sebuah komitmen yang harus senantiasa dipegang. “Journalist are morally commited to maximally relevant truth-telling in the public interest and force the public good” (Jacquette, 2010).

Untuk menjawab tantangan ini, Ward (2009) memberikan alternatif teori untuk melihat truth and objectivity. Ward menawarkan sebuah konsep ‘Pragmatic Objectivity’. Ward menjelaskan bahwa “objectivity is valued, pragmatically, as a means to the goals of truth, fair judgement and ethical action”. Ada 5 tahap yang ditawarkan (1) journalism as Active, Truth Seeking Inquiry; (2) Journalism as an Interpretive Exercise; (3) Objectivity as Holistic Testing Interpretation; (4) Testing as Based in generic and domain specific standard; (5) Objectivity not opposed to passion. Meskipun masih parsial, setidaknya alternatif ini menjadi kajian awal untuk mendefinisikan kembali prinsip objektivitas dan kebenaran dalam jurnalisme. Ada kebutuhan nyata untuk memahami objektivitas tidak sekedar menyajikan fakta tetapi juga memperhatikan beberapa elemen lain agar tidak ‘menyakiti’ kepentingan publik. Elemen-elemen inilah yang akan dielaborasi lebih lanjut.

 

Memahami Konflik

Konflik merupakan keadaan anomali. Keadaan yang bertolak belakang dari suatu kondisi stabil. Dalam Teori Struktural Fungsional, konflik dianggap sebagai suatu masalah yang mengancam stabilitas suatu sistem. Salah satu pemikir di bawah bendera kelompok teori ini adalah Talcott Parson. Dalam teorinya, setidaknya ada empat elemen yang saling mendukung kestabilan sistem, yaitu Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency.  Kemudian, teori ini dikembangkan oleh Robert Merton yang mensangsikan teori Talcott Parson. Robert Merton tidak sependapat bahwa setiap sistem selalu menuju pada stabilitas. Ada kalanya sistem tersebut lari kearah negatif, yaitu ketidakstabilan. Konsep disfungsi sistem menjadi penyempurnaan dari Teori Talcott Parson. Selain itu, ada beberapa pemikir lain yang mencoba untuk memberikan sumbangan perspektif Struktural Fungsional.

Meskipun sudah mengalami pergeseran sedemikian jauh, Teori Struktural Fungsional tidak cukup mampu menjelaskan kondisi riil masyarakat. Teori di bawah perspektif ini cenderung abai terhadap pergerakan masyarakat yang menimbulkan konflik. Seperti telah disebutkan sebelumnya, konflik dianggap sebagai masalah dalam sebuah sistem. Padahal, konflik adalah sesuatu yang ‘pasti’ ada dalam masyarakat. Kelemahan ini kemudian mendorong lahirnya teori berbasis konflik. Sebagai ‘kebalikan’ dari Teori Struktural Fungsional, teori konflik meletakkan basis analisisnya pada konflik. Salah satu yang mengembangkan teori ini adalah Lewis Coser (Ritzer dan Goodman, 2003). Dalam pengertian sederhana, konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang berpikir memiliki tujuan tidak sejalan. Ada beberapa  situasi yang melibatkan atau dapat menciptakan konflik (Pecojon, 2011). (1) Sumberdaya terbatas; (2) Komunikasi yang kurang atau tidak ada sama sekali antara pihak yang terlibat; (3) Pihak terlibat mempunyai persepsi yang salah satu sama lain; (4) Terdapat kurangnya rasa percaya; (5) Sengketa yang tidak terselesaikan di antara mereka; (6) Para pihak tidak menghargai hubungan diantara mereka; dan juga (7) kekuatan tidak tersebar secara merata.

Coser (Ritzer dan Goodman, 2003) mengembangkan apa yang disebut dengan ‘The Function of Social Conflict’. Konflik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika masyarakat. Konflik tidak sepenuhnya negatif. Konflik mempunyai beberapa fungsi. (1) Konflik mampu membantu mempererat ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. (2) Konflik dengan satu kelompok dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain. (3) Konflik dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi. (4) Konflik juga membantu fungsi komunikasi. Konflik memungkinkan kedua pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif masing-masing kelompok dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling berdamai.

Untuk memahami konflik, ada beberapa elemen yang perlu dilihat dengan jelas. Segitiga Konflik menjadi alat bantu untuk melihatnya (Pecojon, 2011). Pertama, tingkah laku. Dalam konflik, tingkah laku adalah hal yang paling kentara untuk dilihat. Apa dan bagaimana yang dilakukan oleh pihak berkonflik dapat dengan jelas dilihat dari perilaku. Namun, tingkah laku tidak dapat merepresentasikan posisi sebenarnya dari kepentingan pihak berkonflik. Oleh karena itu harus diperhatikan juga elemen kedua, yaitu Sikap. Sikap lebih tidak kentara daripada tingkah laku. Sikap ada dalam level kognisi masing-masing indvidu atau kelompok. Ketiga, konteks, yaitu latar belakang dan segala faktor yang menyebabkan, mendukung, ataupun dipengaruhi oleh konflik. Ketiga elemen tersebut menjadi pisau analisis untuk memahami suatu peristiwa konflik.

Ada beberapa tipe konflik jika dilihat dari tujuan dan manifestasi (tingkah laku) dari pihak yang berkonflik (lihat tabel 1). Pertama, Konflik Laten. Konflik ini dapat terjadi ketika ada dua individu/ kelompok atau lebih mempunyai perbedaan tujuan tetapi mempunyai tingkah laku atau cara yang sama untuk mencapai tujuan (yang berbeda) tersebut. Konflik ini tidak terlihat secara kasat mata karena memang seakan-akan sejalan. Padahal, tujuan dari masing-masing kelompok berbeda. Meskipun tidak kasat mata, konflik seperti ini sulit untuk didamaikan karena tidak ada titik temunya. Kedua, Konflik Terbuka, terjadi ketika ada tujuan berbeda dan ditempuh dengan tingkah laku yang berbeda. Konflik terjadi secara kasat mata dan biasanya diakhiri dengan menentukan jalan masing-masing tanpa mengganggu tujuan satu dengan lainnya. Ketiga, Konflik permukaan, terjadi ketika ada kesamaan tujuan tetapi ditempuh dengan cara berbeda. Konflik ini mudah untuk ditemukan karena adanya persamaan tujuan.

 

 

 

TUJUAN/TINGKAH LAKU SEJALAN TIDAK SEJALAN
TIDAK SEJALAN KONFLIK LATEN KONFLIK TERBUKA
SEJALAN TIDAK ADA KONFLIK KONFLIK DIPERMUKAAN

 

Konflik diidentikan dengan kekerasan. Inilah mengapa pemahaman mengenai bentuk kekerasan menjadi penting. Berikut segitiga kekerasan yang menunjukkan beberapa tipe kekerasan (lihat figur 3). Pertama, Kekerasan langsung yang biasanya dapat diketahui oleh semua pihak. Kekerasan langsung menimbulkan kerusakan yang sifatnya fisik, baik individu maupun infrastruktur. Contoh kekerasan langsung antara lain perkelahian, tembak menembak, pengeboman, pembakaran, dll. Kedua, kekerasan budaya. Jenis kekerasan ini tidak kasat mata karena menyentuh aspek afeksi dari individu atau kelompok. Budaya sifatnya tidak manifest karena terdiri dari norms, values, dll. Contoh kekerasan budaya antara lain diskriminasi. Ketiga, kekerasan struktural. Kekerasan ini disebabkan oleh ketidakadilan dalam struktur sosial. Biasanya terkait dengan sistem politik maupun ekonomi. Ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur masuk dalam kategori kekerasan struktural. Kemiskinan menjadi salah satu dampak nyata dari kekerasan ini.

 

Objektivitas dalam Pemberitaan Konflik

Kesepakatan dalam tulisan ini, objektivitas tidak berhenti hanya pada penyajian fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Ada sebuah nilai yang harus dijunjung tinggi bersama oleh jurnalisme. “The Fourth Estate” menjadi pegangan kuat bagi para profesional untuk selalu berpihak pada kepentingan publik. Demokrasi menjadi hal yang harus diupayakan dalam praktik jurnalisme. Sehingga, nilai-nilai jurnalisme itu sendiri tidak boleh menyakiti apa yang seharusnya dijunjung, yaitu kebaikan untuk bersama.

Sudah banyak disinggung pada sub judul sebelumnya bahwa makna objektivitas merujuk pada spirit untuk mencapai kebenaran. Namun, kebenaran tidak cukup diperoleh dengan menyajikan fakta apa adanya fakta. Perlu ada upaya analisis dan interpretasi untuk mewujudkan perannya sebagai representasi dari masyarakat. Jurnalisme tidak boleh hanya berhenti pada penyajian fakta tetapi juga diikuti dengan tanggung jawab mencerdaskan publiknya dan memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan iklim demokrasi. Dalam konteks ini, kita harus mengingat peran media sebagai sebuah ruang publik. Ruang pertukaran ide yang mampu membentuk sebuah wacana tertentu. Sudah selayaknya media, dalam konteks ini adalah pers, berhati-hati dalam menjalankan perannya.

Tidak terkecuali dalam memberitakan konflik, media harus berhati-hati memahami prinsip objektivitas yang menjadi pusat dari etika jurnalistik. Harus ada pemahaman mendalam mengenai konflik sebagai objek berita. Pemahaman ini mampu menjadi dasar untuk menentukan langkah strategis dalam memberitakan konflik tanpa harus melukai kepentingan publik, yang notabebe adalah hal yang dijunjung tinggi oleh jurnalisme itu sendiri.

Telah dijelaskan pula secara lebih lengkap dalam pembahasan sebelumnya, bahwa konflik adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dalam dinamika kemasyarakatan. Bertolak dari teori konflik, keberadaan konflik mempunyai fungsi tersendiri bagi perubahan masyarakat. Konflik tidak selalu berimbas negatif dan mengarah pada kerugian. Namun, jika mampu diarahkan dengan sedemikian rupa mampu memperbaiki kondisi masyarakat itu sendiri. Terkait dengan Jurnalisme, Lee (2010) memaparkan,

 “As people, groups, countries, and groups of countries seem to stand in each other’s way (that is what conflict is about) there is a clear danger of violence. But in conflict there is also a clear opportunity for human progress, using the conflict to find new ways, transforming the conflict creatively so that the opportunities take the upper hand-without violence”

Setidaknya itulah acuan yang menjadikan konflik penting untuk dipahami lebih jauh. Termasuk didalamnya mengenai elemen yang menyusun sebuah konflik, bentuk konflik, dan juga berbagai bentuk kekerasan yang identik dengan konflik. Pemahaman ini menjadi acuan untuk merumuskan objektivitas dalam pemberitaan konflik dengan lebih bijak dan tidak menyakiti kepentingan publik.

Membahas mengenai pemberitaan konflik, tidak dapat dilepaskan dari tokoh bernama Johan Galtung, seorang Aktivis perdamaian yang mengembangan sebuah konsep ‘Peace Journalism’. Johan Galtung (Lynch, 2010) melihat bahwa dalam proses seleksi berita (gatekeeping), ada sesuatu yang berjalan sistematis dan simultan dalam memberitakan konflik. Ada lima kriteria yang selama ini cenderung menjadi ‘panduan’ bagi media. (1)Threshold, dimana cerita besar yang mempunyai efek bagi orang dalam jumlah banyak; (2) Frequency, peristiwa yang memang sudah dijadwalkan oleh media bersangkutan; (3) Negativity, dimana berita buruk mampu menarik lebih banyak perhatian dibandingkan dengan berita baik; (4) Unexpectedness, peristiwa tidak terduga dan mempengaruhi banyak orang; (5) Unambiguity, yaitu sesuatu yang sudah jelas.

Kecenderungan tersebut mendorong lahirnya jurnalisme yang ‘berat’ pada situasi perang. Galtung menyebutnya dengan ‘war journalism’. Praktik jurnalisme ini mempunyai beberapa kecenderungan.  Pertama, Violence, dimana konflik merupakan dualistic term, dua kelompok berkompetisi untuk mencapai tujuan tunggal, yaitu kemenangan. Kedua, Elites, dimana narasumber cenderung diambil dari ‘official sources’. Ketiga, Propaganda, kecenderungan untuk mengekspos ketidakbenaran ‘mereka’ dan menolak ‘kita’. Keempat, Kemenangan, media cenderung berhenti memberitakan ketika senjata sudah diletakkan, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pra dan pasca konflik.

Johan Galtung merasakan keresahan terhadap kecenderungan pemberitaan tersebut. Perlu ada alternative perspective yang berpihak pada ‘perdamaian’, ‘Peace Journalism’. Beberapa ciri dari peace journalism antara lain, pertama, Conflict or peace oriented, mencoba untuk melewati batas waktu dan ruang untuk menyajikan kronologi peristiwa, bukan hanya dua kelompok yang bertikai tetapi juga aktor lain yang mungkin terlibat, untuk memberikan atau merekomendasikan berbagai alternatif tujuan dan kemungkinan intervensi. Kedua, People oriented, mempertimbangkan isu konflik dari sudut pandang berbeda, seperti suara akar rumput. Ketiga, Truth oriented, menghindari mengekspos pengumuman salah satu pihak saja tetapi juga mengakomodasi semua sisi. Keempat, Solution oriented, menyiapkan atau mencari solusi yang mungkin dapat ditempuh.

Melengkapi perspektif Galtung, Lee (2010) memaparkan,

By taking the advocacy, interpretive approach, the peace journalist concentrates on stories that highlight peace initiatives, tone down ethnic and religious differences; prevent further conflict; focus on the structure of society; and promote conflict resolution, reconstruction, and reconciliation

Berikut ini perbedaan antara war journalism dan peace journalism yang dikembangkan oleh Johan Galtung (dalam Lee, 2010)

Tabel 2

Perbedaan Peace Jouranalism dan War Journalism

 

No War Journalism Approach Peace Journalism Approach
1 Reactive Proactive
2 Reports mainly on visible effects of war Report on the invisible effect of war
3 Elite oriented People oriented
4 Focused mainly on differences that led the conflict Reports the area of agrrement that moght led to asolution to the conflict
5 Focused mainly on the here and now Report causes and consequences of the conflict
6 Dichotomizes between the good guys and bad guys, the victims and villains Avoid labeling of good guys and bad guys
7 Two-party oriented Multiparty oriented
8 Partisan Non partisan (neutral)
9 Zero-sum orientation Win-win orientation
10 Stops reporting with the peace treaty signing and ceasefire, and heads for another war elsewhere Stays on reports aftermath of war
Language
11 Uses victimizing language Avoids victimizing language
12 Uses demonizing language Avoids demonizing language
13 Uses emotive words Objective and moderate

 

Peace Journalism merupakan salah satu konsep yang mencerahkan bagi pemberitaan konflik, dimana media diarahkan bukan sebagai ‘provokasi’ konflik tetapi lebih berperan sebagai seorang ‘pejuang’ perdamaian. Dalam perkembangannya, konsep ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan jurnalis profesional. Pendapat yang banyak menyeruak mengenai konsep ini adalah, ketika pers menjalankan fungsinya sebagai pejuang perdamaian, pers tidak lagi independen. Pers sudah berpihak pada ‘perdamaian’. Inilah yang kemudian mendorong lahirnya konsep ‘Conflict Sensitive Journalism’ (CSJ). Pada wawancara langsung dengan Marlon (2011), seorang aktivis CSJ dari Pecojon (The Peace and Conflict Journalism Network) mengatakan bahwa ‘CSJ’ is about journalism but Peace Journalism is about peace’.  Dalam pengertian lebih jauh dapat dikatakan bahwa konsep peace journalism mengarah pada fungsi advokasi dan meninggalkan fungsi jurnalisme itu sendiri. Selain itu, peace journalism juga menekankan pada peristiwa perang, bukan konflik secara lebih luas. Namun, yang perlu dicatat dari sini adalah, tidak perlu memperdebatkan antara peace journalism dengan CSJ. Keduanya sama-sama ingin memperbaiki kondisi jurnalisme yang saat ini cenderung ‘bersenang-senang’ diatas peperangan.

Pecojon (2011) mengembangkan 19 elemen yang dapat membedakan antara jurnalisme berorientasi konflik dan jurnalisme sensitif konflik. Elemen ini juga berbasis pada pemikiran Johan Galtung, Jake Lynch, Annabel McGodrick, Antonio Koop dan berbagai hasil riset di beberapa negara seperti Filipina, Indonesia, Timor Timur, Kamboja, dan Jerman. Berikut perbedaannya.

Tabel 4.

Perbedaan Jurnalisme Berorientasi Konflik dan Jurnalisme Sensitif Konflik

 

No Elemen Inti Jurnalisme Konflik Jurnalisme Sensitif Konflik
1 Peran Jurnalis Sebagai Bisnis Jalur komunikasi dalam masyarakat
2 Bentuk Konflik 2 pihak saja Multi-pihak
3 Framing dan Konteks Orientasi kejadian Orientasi proses
4 Strategi menghadapi kerumitan Menyederhanakan Menjelajah kompleksitas/menjelaska
5 Tujuan Pelaporan atau pelayanan kepada pembaca Sebagai hiburan Untuk memberikan pemahaman
6 Strategi melaporkan kekerasan Hanya kekerasan langsung saja Mempertimbangkan kekerasan budaya dan structural, bukan hanya kekerasan langsung
7 Analisa tujuan dan motivasi para pihak yang terlibat dalam konflik Fokus pada posisi yang diinginkan Mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan yang menjadi basis dari masing-masing kelompok
8 Jurnalis dan kaca mata pembaca Menyalahkan Konflik sebagai tantangan bersama
9 Strategi menghadapi propaganda Reseptor propaganda Tahan terhadap propaganda
10 Strategi menghadapi perang Membenarkan perang Menunjukkan dampak perang dengan akurat
11 identifikasi sumber dan pelaku dalam berita Orientasi pada elit Orientasi pada masyarakat
12 Nilai Berita Hiburan Relevansi
13 Strategi melaporkan korban dari kekerasan langsung Fokus pada korban kekerasan langsung saja Mepertimbangkan korban konflik secara keseluruhan
14 menghadapi upaya provokasi menghadapi jurnalisme Memprovokasi dengan menyalahkan, kritis terhadap orang tertentu Tidak menyalahkan individu, menunjukkan masalah, mengeksplorasi kekerasan structural, kondisi dll
15 Penggunaan bahasa Stereotype, generalisasi, label Khusus, netral
16 Menciptakan keseimbangan Keseimbangan kuantitatif Keseimbangan kualitatif
17 orientasi reaksi emosional dari pembaca Emosi Empati
18 dampak laporan terhadap pembaca Ketidakberdayaan Pemberdayaan
19 Anggapan jurnalis terhadap pembaca dan pemirsa.

 

Pembaca pasif Pembaca aktif

Sumber : Pecojon (2011)

 

Pemaparan tersebut lebih mengarah pada aspek teknis bagaimana seharusnya seorang reporter dalam memberitakan konflik. Pertama, harus ada pemahaman bahwa pers berperan melayani masyarakat. Kedua, dalam pencarian informasi, seorang jurnalis tidak boleh terjebak dalam pemahaman hitam putih ataupun dua pihak saja. Perlu ada kreatifitas untuk menangkap aktor-aktor lain yang mungkin terlibat dalam konflik tersebut. Jurnalis juga harus peka terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang mungkin terjadi. Dalam konteks ini, segitiga kekerasan dapat membantu untuk memetakan bentuk kekerasan tersebut. Apakah hanya kekerasan langsung atau ada kekerasan budaya ataupun struktural yang terjadi. Selain itu, kepekaan terhadap kepentingan masing-masing pihak juga penting untuk menangkap kesamaan ataupun perbedaaannya. Kedua hal tersebut harus mampu dilaporkan secara proporsional.

Ketiga, dalam pelaporan sebaiknya tidak menyederhanakan masalah. Jika keadaan memang kompleks harus dilaporkan demikian adanya. Jika disederhanakan akan dapat menimbulkan bias pemahaman dalam masyarakat. Penyajiannya juga harus menghindari penggunaan bahasa yang hiperbolis. Netral menjadi pilihan bahasa yang harus diupayakan sedemikian rupa. Sehingga, pemberitaan tersebut tidak menimbulkan ketidakberdayaan masyakarat dalam menghadapi konflik tetapi justru menimbulkan semangat untuk bersama menyelesaikannya. Dalam titik ini, terlihat jelas perbedaan antara peace journalism dengan CSJ, dimana perdamaian bukanlah tujuan akhir dari CSJ, melainkan clear information to make the audiences understand about the problems.

Inilah pemahaman objektivitas yang penulis sampaikan terkait dengan berita konflik. Perlu ada pemahaman yang mendalam mengenai konflik itu sendiri untuk dapat meletakkan prinsip objektivitas dengan tepat. Praktik jurnalisme perang dapat dikatakan objektif dalam makna ‘konvensional’. Mereka memberitakan apa yang sesungguhnya terjadi. Tetapi ada perbedaan frame yang diberikan antara ‘war journalism’ dengan ‘peace journalism’ ataupun ‘conflict sensitive journalism’. Hal yang menjadi pertimbangan utama adalah kebaikan bersama, public interest. Bukan kepentingan golongan ataupun kelompok tertentu, bahkan bukan pula kepentingan media itu sendiri. Menjunjung nilai-nilai jurnalisme dengan benar adalah kunci untuk melahirkan pemberitaan yang berkualitas.

 

Penutup

Objektivitas tidak dapat diterima begitu saja dengan mempresentasikan fakta apa adanya fakta. Perlu ada pemahaman mengenai konteks dan esensi dari jurnalisme itu sendiri. Terkhusus dalam pemberitaan konflik, jurnalis tidak bisa serta merta memberitakannya dengan ‘telanjang’. Perlu ada interpretasi dan analisis yang tajam agar tidak memperkeruh keadaan. Conflict sensitive journalism menjadi salah satu strategi untuk melahirkan jurnalisme berkualitas. Terlebih dalam konteks Indonesia yang rawan terjadi konflik. Media tidak boleh sembarang mengambil posisi. Jika kebenaran informasi diragukan maka akan dapat mengancam ketahanan nasional. Taat pada asas jurnalisme menjadi keharusan untuk menghindari konflik yang lebih hebat. Jikalau itu terjadi, minimal bukan media yang menjadi biang keladinya.

 

Referensi

Berry, David. (2008). Journalism, Ethics and Society. England : Ashgate Publishing Limited.

Hampton, Mark. (2010). The Fourth Estate Ideal in Journalism History dalam Stuart Allan (ed). The Routledge Companion to News and Journalism. New York : Routledge. Hal. 3-12.

Jacquette, Dale. (2010). Journalism Ethics as Truth-Telling in the Public Interest dalam Stuart Allan (ed). The Routledge Companion to News and Journalism. New York : Routledge. Hal. 213-222.

Kaplan, Richard. (2010). The Origins of Objectivity in American Journalism  dalam Stuart Allan (ed). The Routledge Companion to News and Journalism.New York : Routledge. Hal. 25-37.

Lee, Seow Ting Lee. (2010). Peace Journalism dalam Lee Wilkins dan Clifford G. Christian (Ed). The Hand Book of Mass Media Ethics. New York : Routledge. Hal.258-275.

Lynch, Jake. (2010). Peace Journalism dalam Stuart Allan (ed). The Routledge Companion to News and Journalism.New York : Routledge. Hal. 542-554.

McKee, Alan. (2005). The Public Sphere : An Introduction. Cambridge : Cambridge University Press.

Ritzer, George; Goodman, Douglas J. (2003). Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

McQuail,Denis. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory. London : Sage Publications.

Ward, Stephen J.A. (2009). Truth and Objectivity dalam Lee Wilkins dan Clifford G. Christian (Ed). The Hand Book of Mass Media Ethics. New York : Routledge. Hal. 71-83

Modul Pelatihan Pecojon Indonesia (2011)


About Lisa Lindawati

My Academic Career was started in 2010 when worked as a research assistant at the Department of Communication, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada. Since 2014, have been working as a full time lecturer at the same institution. Particularly interested in media and communication studies with area of specialization in online journalism, community relations, developmental issues, and civil society empowerment.