Intercultural Communication sebagai Jalan Keluar
Author: Lisa Lindawati
Abstract
After more than thirty years adopted a ‘top down’ that tends to centralized, the government in reform era moving in the development paradigm based ‘community empowernment’. In the implementation does not always go according to plan. Various problems, both in structural and individual level, appear and affect the process of empowernment. Other problems also arise when a program of empowernment was a cause of conflict in society. Although there has been a paradigm shift from ‘top down’ to ‘bottom up’, is not sufficient to explain the phenomenon in a multicultural nation. There needs to be more sensitive approach to cultural diversity to build this nation into a more appropriate direction.
PENDAHULUAN
Melihat Indonesia yang tidak berhenti membangun menimbulkan pertanyaan besar karena hasilnya belum memuaskan. Hasil pembangunan seakan berhenti pada hitungan angka tetapi tidak terlihat jelas pada perubahan nasib masyarakat. Ditambah lagi dengan banyaknya konflik antar golongan, baik yang berbasis suku, agama, ras, partai, ataupun status ekonomi. Hal ini menjadi salah satu indikator gagalnya pembangunan di Indonesia. Perlu ada upaya perubahan, bukan hanya sistemik tetapi juga dibarengi dengan perubahan paradigmatik untuk memberikan arah yang lebih tepat pada pembangunan.
Dalam tataran teoritis, perubahan paradigma pembangunan membawa ‘pencerahan’ bagi perspektif pembangunan di negara berkembang, dimana kebutuhan masing-masing kelompok memerlukan sentuhan berbeda. Hal ini berpengaruh pada paradigma pembangunan di Indonesia. Setelah lebih dari tiga puluh tahun menganut pendekatan ‘top down’ yang cenderung sentralistik, pemerintah di masa reformasi bergerak pada paradigma pembangunan berbasis ‘pemberdayaan masyarakat’. Pada implementasinya, tidak selalu berjalan sesuai rencana. Berbagai permasalahan, baik dalam tataran struktural maupun individu, muncul dan mempengaruhi proses pemberdayaan tersebut. Hal ini disebabkan kurang siapnya infrastruktur birokrasi dan minimnya sumber daya memadai sebagai pelaku aktif dalam proses pembangunan.
Permasalahan lain juga timbul ketika program pemberdayaan justru menimbulkan konflik dalam masyarakat. Minimnya pengetahuan tentang sosiografis, jaringan komunikasi, dan budaya masing-masing kelompok membuat upaya tersebut justru mempertajam gap dalam masyarakat. Meskipun sudah ada perubahan paradigma dari ‘top down’ menjadi ‘bottom up’, tidak cukup untuk menjelaskan fenomena di negara dengan karakter berbeda. Oleh karena itu, perlu ada penggalian lebih lanjut untuk menemukan perspektif yang tepat dalam melihat Indonesia.
Tulisan ini diawali dengan penelusuran perkembangan teoritis yang mempengaruhi perjalanan pembangunan di Indonesia. Sebagai lanjutannya adalah mencoba memahami perkembangan pembangunan di Indonesia sebagai dasar untuk menggali kemungkinan perspektif baru yang dapat menjadi jalan keluar. Ethno-development menjadi salah satu pendekatan yang coba penulis tawarkan sebagai salah satu jawaban dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Dalam pendekatan ini, komunikasi antar budaya menjadi elemen penting untuk dipahami. Tentu saja tulisan ini belum cukup untuk melahirkan sebuah perspektif baru yang kuat secara paradigmatik. Setidaknya penulis ingin memberikan berbagai peluang riset yang dapat digunakan untuk ‘menolong’ arah pembangunan di Indonesia.
PERKEMBANGAN PENDEKATAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Perkembangan Teori Pembangunan
Secara umum terdapat dua kelompok teori yang muncul berurutan, yaitu Teori Modernisasi dan Teori Dependensi. Pertama, Teori Modernisasi menjelaskan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor di dalam negeri negara bersangkutan. Modernisasi kemudian menjadi semacam komoditi dikalangan masyarakat yang menempatkan faktor mentalitas menjadi penyebab perubahan. Karena modernisasi berasal dari barat, maka modernisasi tidak lepas dari keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait dengan konsep pembangunan (development) yang muncul sebagai ‘politik balas budi’ dari negara yang ada di wilayah Eropa Barat dan Amerika Serikat terhadap wilayah bekas jajahan mereka. Sebagai bentuk balas budi tersebut, Eropa Barat dan Amerika Serikat yang menyebut dirinya ‘Negara Maju’ merasa mempunyai kewajiban menolong negara-negara yang belum maju (sedang berkembang) untuk memperbaiki kualitas masyarakatnya. Sejak berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1950an, mulai gencar dilakukan berbagai program bantuan dari negara maju untuk negara ‘belum maju’, yang sebagian besar ada di wilayah Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Dengan kiblat bahwa peradaban yang dianggap maju adalah peradaban seperti Eropa dan Amerika.
Menurut Harun dan Ardianto (2011), teori modernisasi mampu menurunkan berbagai implikasi kebijaksanaan pembangunan yang perlu diikuti negara dunia ketiga dalam usaha memodernisasikan dirinya. Pertama, membantu secara implisit pembenaran hubungan bertolak belakang antara masyarakat tradisional dan modern. Hal ini memunculkan Amerika dan Eropa sebagai panutan bagi Dunia Ketiga. Kedua, teori modernisasi menilai ideologi komunisme sebagai ancaman pembangunan. Sehingga, Dunia Ketiga tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti arah perkembangan Amerika Serikat dan Eropa Barat. Teori ini menyarankan agar Negara Dunia Ketiga melakukan pembangunan ekonomi, meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional, dan melembagakan demokrasi politik. Ketiga, teori modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing. Hal ini menimbulkan ketergantungan negara dunia ketiga terhadap negara maju.
Dalam konteks Indonesia, Teori Modernisasi menemui banyak kritik. Salah satu kritik paling santer adalah mengenai penekanan pada faktor ekonomi. Salah satunya disampaikan oleh Susetyawan (Dalam Suparjan dan Suyatno, 2003) yang mengatakan bahwa pembangunan yang ditawarkan oleh negara maju tidak lain adalah perpanjangan tangan kapitalisme untuk menciptakan pasar di negara berkembang. Dengan meningkatnya perekonomian masyarakat, otomatis akan meningkatkan daya beli mereka terhadap produk industri kapitalis. Selain itu, paradigma yang mendasari teori modernisasi menimbulkan kebergantungan negara terhadap pihak donor. Disinilah kemandirian negara sama sekali tidak terwujud. Selain itu, kritik juga disampaikan oleh Arief Budiman (1984 dalam Salim, 2002 : 72), bahwa teori modernisasi berkembang di banyak negara berkembang dengan tidak mempertimbangkan akar budaya lokal sebagai potensi pembangunan. Oleh karena itu bersifat a-historis.
Kelemahan dari teori modernisasi mendorong munculnya teori kedua, yaitu teori dependensi yang lebih banyak mempersoalkan faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di negara-negara tertentu. Kemiskinan lebih banyak dilihat sebagai akibat bekerjanya kekuatan luar yang menyebabkan negara gagal melakukan pembangunan. Teori strukturalis ini menolak jawaban dari teori modernisasi. Pembagian kerja secara internasional justru mengakibatkan keterbelakangan bagi negara-negara pertanian (negara berkembang).
Kedua teori tersebut meskipun sudah berpijak pada paradigma berbeda dianggap belum mampu menjawab tantangan zaman. Hal ini disebabkan masih bertumpu pada apa yang disebut dengan pertumbuhan, dimana ada arah linear yang harus dilalui untuk mencapai modernisasi. Hal ini melupakan pembangunan ‘manusia’ seutuhnya. Teori Dependensi memang mampu menjadi cikal bakal semangat pembebasan ini. Namun, dianggap belum mampu sepenuhnya menciptakan sebuah paradigma alternatif. Teori Dependensi berpijak pada tradisi kritis yang melupakan aspek teknis dalam proses pembangunan itu sendiri. Keadaan ini mendorong munculnya paradigma alternatif yang berpijak pada pemberdayaan. Sebutan alternatif banyak dikumandangkan sebagai istilah yang merujuk pada ‘perlawanan’ dari hegemoni nilai ‘Barat’. Hal ini disebabkan banyaknya ketidaksesuaian antara nilai-nilai barat beserta metode pembangunannya, dengan kondisi riil dalam masyarakat non Barat.
Dalam paradigma baru, pembangunan tidak lagi ditentukan oleh pemegang kekuasaan (negara). Pemberdayaan menjadi tujuan utama dari proses pembangunan. Pemberdayaan yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai empowernment berasal dari kata power (kekuasaan), yang merujuk pada pengertian pemberian kekuasaan kepada individu atau masyarakat untuk menentukan arah perkembangan dirinya. Tidak ada lagi universalitas nilai yang ditujukan bagi masyarakat. Masing-masing individu berkuasa sepenuhnya akan perkembangan dirinya sendiri. Disinilah konsep pemberdayaan sering disandingkan dengan pendekatan partisipatif, dimana dalam proses pembangunan, partisipasi masyarakat menjadi keharusan. Bukan partisipasi dalam mensukseskan program yang dicanangkan oleh pemerintah, karena ini tidak ada bedanya dengan teori modernisasi. Namun, lebih pada partisipasi untuk menentukan arah pembangunan.
Lebih lanjut mengenai pemberdayaan, menurut Wrihatnolo dan Dwidjowidjoto (2007), mengatakan bahwa pemberdayaan bukanlah isu politis tetapi lebih pada isu manajemen yang menekankan pada kontinuitas. Peter F. Drucker (dalam Wrihatnolo dan Dwidjowidjoto, 2007) mengatakan, “there is never underdeveloped country; there is always undermanaged country”. Salim (2002) memaparkan setidaknya ada empat elemen penting yang harus dijamin dalam upaya pemberdayaan. Pertama, akses dimana setiap anggota masyarakat dijamin mempunyai akses terhadap segala sumber daya yang mendukung perkembangan dirinya. Kedua, partisipasi untuk menyuarakan pendapatnya. Ketiga, kontrol yang merujuk pada kuasa untuk menentukan nasib sendiri ataupun kuasa untuk mengkritisi berbagai proses pembangunan. Keempat, kesetaraan bagi seluruh individu masyarakat. Terkait dengan aspek tersebut, dalam upaya pemberdayaan perlu diperhatikan setidaknya tiga hal, yaitu jaringan sosial, kohesivitas sosial, dan agen perubahan. Masing-masing elemen tersebut sangat berkaitan dengan pola komunikasi yang dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Meskipun paradigma pemberdayaan dianggap sebagai sebuah pencerahan dalam pembangunan, bukan berarti tidak menemui kritik. Dalam konteks Indonesia, Susetyawan (dalam Suparjan dan Suyatno, 2003) mengatakan bahwa pemberdayaan sudah menjadi barang dagangan. Pernyataan ini berdasar pada realitas dimana program-program pemberdayaan tetap bergantung pada lembaga donor internasional. Mekanisme pembangunan memang sudah berubah tetapi arahnya tidak berbeda jauh dengan paradigma konvensional. Indikator keberhasilan juga masih bertumpu pada hitungan ekonomi. Kecurigaan lebih mendalam lagi adalah proses ini tidak berbeda jauh dengan perluasan pasar kapitalisme dengan menyesuaikan paradigma terbaru. Jika ini yang terjadi, tentu saja bukan merupakan sebuah kemajuan. Mari kita lihat apa yang bisa disumbangkan ilmu komunikasi untuk memperbaiki keadaan ini.
Perkembangan Teori Komunikasi Pembangunan
Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang sangat luas dan ada dalam berbagai pijakan paradigma maupun perspektif. Dibantu oleh Robert T. Craig (dalam Turner, 2010), Ilmu Komunikasi setidaknya dapat dibedakan menjadi tujuh tradisi, yaitu Sosiopsikologi, Sosiokultural, Fenomenologi, Sibernetika, Semiotika, Kritis, dan Retorika.
Pertama, Tradisi sosiopsikologi menekankan pada hubungan kausal dalam proses komunikasi. Tradisi ini berpijak pada aliran realisme yang melihat bahwa kebenaran bersifat objektif. Sehingga, untuk mendapatkan kebenaran juga berdasarkan pada penelitian empirik. Hubungan relasional dalam komunikasi menjadi fokus dari tradisi ini. Kedua, Tradisi sosiokultural menekankan pada pentingnya konteks dalam proses komunikasi. Tradisi ini berpijak pada pemahaman bahwa realitas ada pada kognisi subjek. Pemahaman mengenai konteks menjadi penting dalam memahami sebuah realitas. Namun, tradisi ini tetap mempercayai adanya kebenaran objektif. Ketiga, Tradisi kritis berangkat dari semangat pembebasan, dimana ilmu komunikasi seharusnya mampu membebaskan manusia dari ketertindasan. Keempat, semiotika fokus pada kajian mengenai tanda dalam komunikasi. Kelima, Fenomenologi berpijak pada aliran idealisme yang memandang komunikasi sebagai interpretasi individu dalam kehidupan kesehariannya. Nuansa subjektivisme juga sangat kuat dalam tradisi ini. Keenam, sibernetika yang berkaitan erat dengan perspektif sistem. Komunikasi dipandang sebagai sebuah proses. Realitas besifat objektif (realisme) tetapi kebenarannya dapat dikatakan harus holistik (koherensi). Ketujuh, Tradisi Retorika, melihat komunikasi sebagai seni berbicara untuk mempengaruhi lawan bicaranya.
Terinspirasi dari Agusta (2007), penulis mencoba mengaitkan tradisi ini dengan paradigma teori pembangunan. Setidaknya ada tiga tradisi yang mempunyai korelasi dengan teori pembangunan. Pertama, tradisi sosiopsikologis dan kedua, tradisi sibernetik yang seiring dengan Teori Modernisasi Pembangunan. Teori yang berkembang di bawah tradisi sosiopsikologis antara lain Teori Efek yang mendominasi perkembangan ilmu komunikasi, seperti Teori Jarum Suntik, Teori Peluru, Stimulus Respon, dll. Kemudian, teori tersebut berkembang di bawah tradisi sibernetik, antara lain Difusi Inovasi, two steps flow of communications, uses and gratifications theory, dll, Sedangkan tradisi ketiga adalah tradisi Kritis seiring dengan Teori Dependensi yang mencoba untuk membongkar struktur kapitalisme dalam proses pembangunan.
Perubahan paradigma pembangunan terkait erat dengan perubahan pola komunikasi pembangunan yang terjadi. Pada paradigma lama, komunikasi pembangunan dipahami sebagai sebuah komunikasi penyebaran informasi pembangunan, dimana masyarakat dianggap golongan yang belum mengetahui hal tersebut, sedangkan pihak eksternal (pemerintah maupun para ahli), dianggap golongan yang lebih mampu. Dalam paradigma ini, media dianggap mempunyai kekuatan sebagai penyampai pesan modernisasi (Mody, 2002:424).
Pemahaman ini tidak terlepas dari perkembangan ilmu komunikasi yang mengasumsikan bahwa media mempunyai kekuatan super untuk mempengaruhi masyarakat. Dalam konteks ini, teori efek yang mendominasi ilmu komunikasi, mulai dari Teori Jarum Suntik, Teori Peluru, Stimulus Respon, dan lain-lain. Teori media berpandangan bahwa media berperan sebagai pembuat sosial consciousness yang akan menentukan persepsi masyarakat terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya (Hedebro, 1982:93). Media dapat berfungsi untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat mengenai kondisi atau situasi yang sedang dihadapi. Dengan demikian, mereka dapat mengetahui permasalahan mereka dan mau untuk melakukan perubahan.
Media mempunyai potensi untuk mengembangkan modernisasi pada masyarakat tradisional dan mengganti struktur hidup, nilai-nilai dan perilaku mereka dengan kehidupan masyarakat modern (Melkote dan Steeves, 2008:115-116). Namun, fungsi media ini banyak mendapat kritik, diantaranya kekurangan media ini adalah karena sifatnya satu arah. Sifat ini menyebabkan fungsinya dalam proses perubahan sosial menjadi tidak maksimal. Klapper merupakan salah seorang yang menyebutkan bahwa media hanya memiliki dampak ketika dijembatani oleh berbagai variabel (Littlejohn, 2002:322). Kekurangan lainnya dari media massa adalah keberadaannya yang dapat dikatakan tidak banyak ditemui di kalangan masyarakat lapisan bawah, yang justru menjadi target pembangunan tersebut (Hedebro, 1982:116-117).
Pada era yang sama kemudian berkembang pula penelitian yang mempertanyakan sejauh mana keefektifan media massa ini. Hasil dari penelitian yang dilakukan Katz dan Lazarsfeld memunculkan teori two-step flow model of communication effects. Dalam model ini media tidak memiliki efek langsung kepada masyarakat, langkah pertama media memberikan pengaruh kepada opinion leaders yang ada di masyarakat, kemudian opinion leaders ini yang akan menyebarkan kepada masyarakat (Melkote dan Steeves, 2008:108-109).
Penelitian lain, dilakukan Hovland dan Klapper, menunjukkan bahwa sebenarnya audiens tidak pasif dalam menerima pesan dari media massa. Audiens memberikan perlawanan pada pesan-pesan persuasif melalui tiga hal, yaitu selective exposure, selective perception dan selective retention (Melkote dan Steeves, 2008:110). Sehingga masyarakat bukanlah obyek yang pasif dalam menerima pesan, mereka sangat aktif dalam menerima, memproses dan menginterpretasikan pesan.
Selain teori efek, dalam konteks terkait dengan proses pembangunan, Mody (2002) menjelaskan beberapa pendekatan yang mendukung paradigma modernisasi. Pertama, teori difusi inovasi yang berasumsi bahwa ada beberapa tahap komunikasi untuk mendukung proses adopsi inovasi. Dalam teori ini komunikator dianggap mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunikan. Komunikator membawa sebuah inovasi yang akan ‘ditularkan’ kepada komunikan. Teori ini merupakan perkembangan dari teori efek yang mencoba untuk melihat beberapa elemen lain dalam proses komunikasi. Setidaknya ada lima tahapan yang dilalui dalam proses difusi inovasi ini, yaitu awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption. Studi mengenai difusi inovasi ditekankan pada implikasi dari proses komunikasi interpersonal maupun melalui media massa dalam perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Pendekatan kedua yang berkembang untuk mendukung modernisasi adalah Pendekatan Marketing Sosial, dimana ide baru (inovasi) dipasarkan dengan logika produk komersial. Asumsi dari teori ini adalah sumber aktif dan penerima pasif. Model komunikasi yang digunakan cenderung one way, top down, dan keyakinan bahwa efek dari komunikasi tersebut bersifat langsung. Opinion leader, agen perubahan dan media massa digunakan untuk menyampaikan pesan yang bersifat persuasif tersebut. “Development communication under the modernization framework is often viewed as a process of persuasive marketing” (Melkote, 2001 : 38). Dalam konteks ini, konsep-konsep yang muncul antara lain segmentasi audiens, riset pasar, pengembangan produk, insentif, dan fasilitas yang bertujuan untuk memaksimalkan respon dari target. Asumsinya adalah bahwa diperlukan pesan yang berbeda untuk target yang berbeda dan juga pada tahapan yang berbeda.
Pendekatan Ketiga adalah Entertainment education strategies yang mencoba untuk menyelipkan pesan-pesan pembangunan pada tayangan hiburan. Hal ini berdasarkan pada perkembangan asumsi bahwa media tidak lagi efektif dalam mempengaruhi sikap dari audiens. Namun, media masih mampu menguatkan kognisi melalui tayangan-tayangan yang disukai. Pendekatan ini berdekatan dengan Teori Uses and Gratification, dimana audiens diasumsikan lebih aktif dalam memilih media sesuai dengan motif dan kepuasan yang ingin dicapai. Penyisipan pesan-pesan pembangunan tersebut menjadi strategi untuk dapat sampai kepada audiens.
Perkembangan paradigma pembangunan membawa konsekuensi pada pola dari komunikasi pembangunan. Menurut Mody (2002), “development as a process that should provide people with access to appropriate and sustainable opportunities to improve their lives and lives others in their communities”. Yang penting dari proses pembangunan adalah menyediakan kesempatan yang baik untuk mendefinisikan ide pembangunan mereka sendiri dan membentuk pendekatan untuk meraihnya. Model komunikasi linear dengan pertanyaan “who says what in which channel to whom with what effect” menjadi tidak tepat digunakan untuk mengatasi masalah pembangunan masyarakat yang semakin komplek. Pendekatan yang dibutuhkan adalah pendekatan atau model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antara komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaksi (interchange model). Model partisipatori memiliki pertanyaan utama “who is talking back to the who talk to them?“ Artinya semakin banyak dimensi yang diperhatikan. Tekananannya bukan saja pada komunikator yang ingin mencapai sasaran tetapi terutama kepada reaksi komunikan terhadap usul komunikator (Astrid SS, 1982 dalam Setyowati, 2005 : 87)
Fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah tidak berfungsinya media rakyat atau media kelompok sebagai media yang seharusnya dialogis, dua arah, dan partisipatif. Media tersebut masih sering digunakan dalam struktur vertikal dengan menjejalkan informasi siap pakai yang diproduksi secara terpusat kepada khalayak pasif (Oepen,1988:50 dalam Setyowati, 2005:88). Komunikasi dikatakan tepat guna apabila didalamnya berlangsung proses interaksi sosial yang demokratis dan horizontal melalui media yang diproduksi, dikelola, dan dikendalikan oleh masyarakat sendiri, tentu saja beserta tujuan yang ingin dicapai.
Kelemahan dari perspektif modernisasi mendorong munculnya perspektif alternatif yang berpijak pada semangat pemberdayaan. Penekanan pada proses pemberdayaan diilhami oleh perspektif kritis yang menganggap bahwa proses persuasi pada ‘modernization paradigm’ cenderung manipulatif dan berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian pada konteks budaya dimana masyarakat tersebut hidup. Pada Negara Dunia Ketiga yang dalam konsep Melkote dianggap sebagai negara yang miskin dan rawan kelaparan, pemerintah maupun pemimpin yang cenderung korup justru mendapatkan kesempatan lebih untuk memperkaya dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan semakin tingginya kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya.
Beberapa pendekatan yang berlandaskan pada paradigma alternatif antara lain Participatory Action Research dan Empowerment (Mody,2002). Dalam pendekatan Participatory Action Research, masyarakat mempunyai kesempatan untk mengembangkan metode mereka sendiri, menumbuhkan kesadaran mengenai situasi mereka sendiri, sehingga pengetahuan merupakan hasil dari proses kolektif dan demokratis. Proses ini diikuti oleh refleksi dan evaluasi diri yang memunculkan aksi partisipasi sosial dari dalam. Dalam pendekatan ini ada semangat pembebasan. Lebih lanjut Melkote dan Steeves (2001:39) menjelaskan,
“As the purpose of development is assumed to be freedom from oppression, and personal and communal empowernment, the development communication processmust support these goals. Development communication si not message exchange but rather ‘emancipatory communication’ that will free people to determine their own future. That should include everyone participating in the process, not just the so called target groups”.
Kedua, community empowerment (pemberdayaan) yaitu proses untuk meningkatkan kontrol bagi mereka sendiri terhadap segala sesuatunya. Model pemberdayaan fokus pada relasi simetris antara aktor dalam komunikasi. Fokus dari komunikasi pembangunan menurut perspektif ini adalah proses pemberdayaan masyarakat marginal, baik di level individu, kelompok, maupun organisasi. Berbasis pemberdayaan masyarakat, pola komunikasi yang berjalan menjadi dua arah (two ways communication). Melkote menjelaskan, pemberdayaan tidak hanya menekankan pada penyampaian informasi maupun difusi inovasi tetapi lebih pada ‘communicative social action’ pada kelompok-kelompok marginal dalam proses perubahan sosial. Konsekuensi pada komunikasi pembangunan adalah pada peran dari komunikasi itu sendiri, dalam proses perubahan sosial,
“Greater importance will need to be given to the organizational value of communication (than the transmission function) and the role of participative social action communication in empowering citizens” (Melkote, 2001 : 38)
Dengan pola pemberdayaan, masyarakat mempunyai ruang lebih luas untuk mengartikulasikan kepentingannya. Pola ini juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi produsen informasi (komunikator), bukan hanya sekedar konsumen informasi (komunikan). Dengan demikian, masyarakat dapat terlibat dalam proses perumusan rencana pembangunan hingga pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Dengan keterlibatan tersebut, muncul pula tanggung jawab akan keberhasilan dari pembangunan itu sendiri. Disinilah prinsip pemberdayaan menemukan esensinya, dimana pembangunan berbasis pada ’keinginan dan kemampuan’ masyarakat itu sendiri.
PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Paradigma pembangunan Indonesia berubah seiring dengan bergulirnya reformasi. Setelah lebih dari tiga puluh tahun menganut pendekatan ‘top down’ yang cenderung sentralistik, pemerintah di masa reformasi bergerak pada paradigma pembangunan berbasis ‘pemberdayaan masyarakat’. Sejak 1997, program pemberdayaan mulai digulirkan. Berbagai infrastruktur birokrasi mulai dibangun untuk mensukseskan program-program tersebut. Pelibatan kelompok-kelompok masyarakat sasaran program menjadi poin penting dalam upaya ini.
Tahun 1999, seiring dengan UU No 22 tahun 2009 mengenai Otonomi daerah, program pemberdayaan semakin gencar dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang dalam konteks ini mempunyai ruang lebih luas untuk merumuskan pembangunan di daerahnya sendiri. Independensi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat meningkatkan pelibatan masyarakat dalam mensukseskan program pembangunan. Namun, strategi ini ternyata belum mampu menunjukkan hasil memuaskan. Otonomi daerah yang diharapkan mampu melahirkan daerah atau masyarakat yang lebih berdaya, justru menimbulkan berbagai masalah. Salah satunya adalah korupsi yang menjalar hingga ke level lokal. Banyak dana pembangunan maupun dana sosial yang diselewengkan oleh pejabat daerah. Banyak proyek-proyek pembangunan yang menjadi ‘lahan basah’ bagi para ‘pemain’ daerah. Hal ini membuat upaya pengentasan kemiskinan, yang menjadi tujuan sentral dari rangkaian program pembangunan menjadi gagal.
Melihat program pembangunan di Indonesia yang sebenarnya tidak pernah putus tetapi tidak juga menimbulkan dampak yang signifikan bagi masyarakat. Keberhasilan itu hanya ada dalam tataran angka kuantitatif tetapi tidak dapat terlihat secara riil di depan mata. Penulis merasakan ada yang salah dengan proses ini. Kemudian, mencoba melihat proses yang terjadi di lingkungannya sendiri. Penulis merasa semakin yakin bahwa ada yang tidak benar.
Mencoba mengawali pemaparan ini dengan sebuah cerita tentang program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di wilayah tempat penulis tinggal. Kebetulan penulis tinggal di sebuah wilayah sub urban di Yogyakarta bagian selatan. Perbatasan antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul. Sejak tahun 2008 wilayah tersebut mendapat program PNPM Mandiri Perkotaan. Program ini disebut-sebut sebagai program unggulan pemerintahan SBY yang berpijak pada upaya pemberdayaan masyarakat. Namun, setelah tiga tahun berjalan (tahap I ditargetkan 3 tahun), tidak terlihat perkembangan yang signifikan. Bukan bermaksud menafikan berbagai pembangunan infrastruktur yang membuat wilayah kami ‘terkesan’ lebih berkembang. Hanya saja partisipasi masyarakat yang menjadi salah satu cita-cita dari program ini sendiri belum menampakkan hasil yang menggembirakan.
Jika kemudian dikatakan bahwa sama sekali tidak ada partisipasi dari masyarakat tentu saja terlalu berlebihan bahkan menjadi sebuah kebohongan. Eksekusi program yang lebih berat pada pembangunan infrastruktur menimbulkan kesan bahwa program ini berbasis ‘project’. Hal ini menimbulkan partisipasi semu dari masyarakat yang hanya terlibat secara insidental, bukan karena adanya rasa ‘handarbeni’ (sense of belonging) terhadap program tersebut. Belum lagi menggerakkan masyarakat yang dibebani dengan tanggung jawab swadaya 30% menyulut berbagai kontroversi yang tidak sederhana.
Partisipasi tersebut terlihat nyata dari terbentuknya sebuah lembaga keswadayaan masyarakat (LKM) yang bertanggung jawab untuk mengelola BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang dikucurkan dari pemerintah. Dana ratusan juta dikelola secara ‘Mandiri’ oleh para anggota LKM yang berperan sebagai pengambil kebijakan. Hanya saja, kemandirian dalam pengelolaan tersebut terbentur oleh prosedur pengajuan dan pertanggungjawaban yang super rumit bagi masyarakat awam. Inilah yang menjadikan tugas ‘LKM’ sebagai agen perubahan dan katalisator pemberdayaan jatuh pada aspek teknis yang cukup menguras energi. Bahkan, besarnya dana yang dikelola menimbulkan persaingan kekuasaan pada pergantian kepengurusan LKM yang jatuh pada akhir tahun 2011 ini. Keadaan ini semakin menyedihkan karena justru menimbulkan konflik horizontal dalam masyarakat.
Keadaan tersebut membawa kesimpulan sementara penulis pada dua sebab. Pertama, disain program yang memang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, dimana sumber daya manusia menjadi salah satu elemen penting dalam kesuksesan program ini. Begitu juga dengan disain prosedur program yang justru membebani masyarakat. Kedua, kesalahan ada pada tataran implementasi program yang disebabkan oleh kurang optimalnya proses komunikasi yang terjadi. Jika berpijak pada semangat pemberdayaan, komunikasi tidak boleh berhenti pada tataran formal dan pada forum-forum resmi seperti rapat koordinasi, pertemuan sosialisasi, atau rembug warga tahunan (RWT). Inilah yang terjadi pada pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan yang terjadi di wilayah tempat tinggal penulis, dimana komunikasi yang terjalin sangat formal dan tidak sampai pada upaya pembentukan mutual understanding antara pembawa program, dalam konteks ini diwakili oleh fasilitator Kelurahan (Faskel), dengan masyarakat yang menjadi sasaran program.
Meskipun berharap bahwa ini hanya bersifat kasuistis, penulis justru berkeyakinan bahwa ini juga banyak terjadi di wilayah yang lain. Agusta (2007) dalam penelitiannya mengenai PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan pada tahun 1998-2008 mengindikasikan permasalahan yang sama. Menurut pandangan Agusta (2007), Indonesia masih terjebak dalam teori modernisasi meskipun sudah masuk dalam semangat pemberdayaan. Disain program yang belum tepat dalam menempatkan partisipasi masyarakat membuat program inipun belum menunjukkan perkembangan signifikan bagi masyarakat. Minimnya pengetahuan tentang sosiografis dan jaringan komunikasi masyarakat, oleh fasilitator program, membuat program tersebut justru menjadi media yang mempertajam gap dalam masyarakat. Hal ini juga menjadi temuan dari Achmad Gunawan di Desa Gondowangi Wangir Jawa Timur. Dalam kesimpulan penelitiannya, Gunawan (2008) mengatakan bahwa program pemberdayaan tersebut, dalam hal ini Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dianggap berhasil. Keberhasilan ini terlihat dari terbangunnya sarana publik seperti pipanisasi dan pengaspalan jalan. Namun, disisi lain pemberdayaan yang dikembangkan dalam PPK memunculkan konflik sosial di masyarakat. Walaupun wujud konflik bukan dalam tataran manifes destruktif, setidaknya hal ini perlu menjadi perhatian.
Hal ini juga terjadi di salah satu daerah pesisir di Indonesia, yaitu Lombok. Penelitian dari Ross dan Chamala (dikutip Wayan) menunjukkan bahwa implementasi program pemberdayaan bukannya ‘empowering’ tetapi justru ‘overpowering’, dimana decision making tetap berada di tangan orang yang berkuasa. Hal ini disebabkan kurang siapnya infrastruktur birokrasi dan minimnya sumber daya yang memadai sebagai pelaku aktif dari proses pembangunan. Ross dan Chamala menganggap bahwa konsep ‘empowernment’ hanya retorika saja, tidak sesuai dengan pelaksanaan di lapangan.
Disamping permasalahan tersebut, bangsa ini sedang menghadapi tantangan serius mengenai isu Integrasi. Berbagai konflik antar etnik, wilayah, golongan marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Tumbangnya Orde Baru yang disebut-sebut sebagai sebuah reformasi justru memunculkan disintegrasi yang nyata. Mungkin tidak dapat serta merta dikatakan bahwa ini adalah kesalahan gerakan reformasi yang mengusik kestabilan hasil bangunan otoritarianisme Orde Baru. Namun, kecenderungan ini sebaiknya menjadi perhatian serius bari seluruh elemen bangsa. Sisa-sisa masalah kebijakan pembangunan sentralistik di masa Orde Baru juga menjadi salah satu pemicu maraknya fenomena tersebut. Indonesia bisa tercabik-cabik menjadi serpihan kecil, yang menjadi penderitaan politik yang berkepanjangan, karena negara Indonesia dibangun dalam model yang tak pernah final (Salim, 2002 : 6). Konflik antar suku bangsa yang marak terjadi akhir-akhir ini berintikan pada masalah hubungan antara suku asli dengan pendatang. Konflik-konflik itu justru terjadi lantaran adanya proses pengaktifan jati diri suku bangsa dalam membangun solidaritas untuk membentuk sumber daya yang ada (Salim, 2002)
Perencanaan pembangunan sentralistis bukan saja memiliki implikasi yang sangat kompleks, namun juga sulit dilaksanakan secara tepat dan terbukti tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat bawah dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Sistem pembangunan yang sentralistis menurut Suparjan dan Suyatno (2003) menyebabkan setidaknya 3 hal. Pertama, terjadinya uniformitas dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mengakibatkan termarginalisasikan kearifan dan pengetahuan lokal dalam wacana dan praksis pembangunan. Kedua, campur tangan pemerintah yang terlalu besar mengakibatkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Ketiga, ketimpangan dalam masyarakat akibat ketidakmerataan pembangunan yang memang jangkauannya terbatas.
Pembangunan nasional yang terjadi di Indonesia telah menghasilkan terbongkarnya basis budaya kesukuan dan menguatnya stratifikasi sosial akibat masuknya konsepsi pluralisme masyarakat. Masyarakat majemuk yang terjadi di Indonesia, tidak menghasilkan tatanan kehidupan egaliter dan demokratis, melainkan sebuah masyarakat yang berpotensi otoriter dan despotis karena corak suku bangsa yang beraneka ragam, yaitu dari feodalistis, paternalistis, sampai etnosentris (Salim, 2002). Salim juga memaparkan beberapa permasalahan yang banyak terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia.
Pertama, Gejolak masyarakat lokal, akibat krisis masyarakat yang multi-dimensional. Ini terjadi hampir di seluruh dunia seperti krisis ekonomi yang membuat masalah kemiskinan semakin parah. Kedua, Konflik antar kepentingan dalam suatu negara banyak muncul karena ada gerakan sementara di setiap wilayah yang memiliki basis etnik, agama yang berbeda atau memiliki potensi sumber daya yang lebih baik. Dikatakan oleh Huntington (1997 dalam Salim, 2002) bahwa perang masa depan tidak lagi perang antar negara atau perang antar pemilik modal tetapi perang antar kultur antar peradaban. Hal ini disebabkan batas negara dan batas modal pada masa depan akan semakin kabur. Yang justru menguat adalah batas kultural. Huntington pernah meramalkan akan memadatnya gejala penguatan basis etnis dimasyarakat modern. Suatu upaya pembentukan identitas peradaban masyarakat dunia yang terjadi dari keseimbangan antara power, culture, dan indigenization. Hal ini terkait dengan permasalahan berikutnya.
Ketiga, Pertikaian antar etnis. Sampai sejauh ini tidak ada upaya sistematis untuk mencegahnya sehingga perjuangan etnis dilakukan melalui cara kekerasan lingkungan (environmental violence), yakni sebagai proses perubahan lingkungan dan marjinalisasi sumber daya alam secara massif oleh kekuasaan pemerintah pusat, yang mewarisi ketidakadilan dan mengikis habis martabat kebudayaan etnik yang merupakan basis kebudayaan lokal. Banyak gejolak terjadi akibat menguatnya revolusi identitas (identity revolution), yakni semakin mengerasnya batas-batas identitas etnis yang amat bertemali dengan lestarinya stereotip, prasangka, dan pengkambighitaman reproduksi rancang bangun politik dan komidifikasi SARA.
Permasalahan tersebut mendorong upaya pembangunan masyarakat yang berorientasi kepada kebutuhan lokal dan semakin menciutnya upaya universalisme kekuatan dunia (dalam Salim, 2002). Huntington memberikan enam alasan mengapa hal tersebut menjadi hal yang tidak dapat dielakkan. Pertama, perbedaan peradaban sangat mendasar karena mengenai filosofi hidup berbagai komunitas masyarakat, termasuk di dalamnya agama. Kedua, Kemajuan teknologi meningkatkan intensitas interaksi antara individu dengan latar belakang peradaban berbeda. Ketiga, Modenisasi ekonomi yang dijalankan dengan pembangunan membuat dunia menjadi mengglobal yang menyebabkan masyarakat tercerabut dari identitas lokal yang sebenarnya sudah mengakar, sedangkan identitas negara semakin kabur. Keempat, Tumbuhnya kesadaran peradaban lokal. Kelima, Karakteristik budaya dan peradaban yang kurang bisa menyatu dibandingkan dengan perbedaan politik atau ekonomi. Keenam, Regionalisme ekonomi semakin meningkat di tengah masyarakat global.
Perlakuan yang sama terhadap semua wilayah, golongan, ataupun kelompok yang menyusun keberagaman Indonesia tentu saja sudah tidak pas lagi dilakukan. Namun, pembenahan disain pembangunan tanpa disertai dengan pemahaman paradigmatik justru akan menimbulkan permasalahan baru. Disinilah ilmu sosial yang concern dengan pembangunan menemui tantangan untuk memperbaiki keadaan.
MENCARI JALAN KELUAR
Melihat karakter masyarakat Indonesia, pembangunan sentralistis yang menginduk pada teori modernisasi sudah jelas bukan pilihan tepat. Peralihan ke arah pemberdayaan menjadi sebuah berkembangan positif. Namun, banyaknya konflik di level akar rumput menjadi salah satu indikator masih gagalnya pembangunan negeri ini. Untuk mengatasi keadaan ini kita tidak dapat berhenti pada konsep pemberdayaan tetapi menggali lebih jauh mengenai pemberdayaan yang seperti apa. Dalam tulisan ini, penulis menawarkan perspektif komunikasi antar budaya untuk menambah kepekaan pemberdayaan di Indonesia, mengingat masyarakat Indonesia yang sangat plural. Pendekatan multikultural menjadi penting untuk pembangunan yang lebih efektif dan efisien melalui pemberdayaan ‘sungguh-sungguh’.
Ethno-development yang didukung oleh pemahaman komunikasi antar budaya perlu mendapat perhatian ‘serius’. Ethno development merupakan pendekatan yang menempatkan budaya sebagai pusat dari perencanaan pembangunan, khususnya di wilayan pedesaan (pedalaman). Pendekatan ini menunjukkan bagaimana budaya tradisional, teknologi, pengetahuan, kemampuan organisasi, dan talenta dapat berperan dalam membentuk sebuah proses pembangunan yang berkesinambungan (ecologically suistanable development), yang menjadi tujuan dari teori pembangunan terkini[1].
Taketani (2008) dalam sebuah riset mengenai Komunikasi Antar Budaya untuk Pembangunan menggambarkan pentingnya pendekatan interdisipliner untuk membuat model pembangunan yang tepat (lihat figure 1). Pertama, communication for development seperti yang sudah banyak dipaparkan sebelumnya. Dalam pengertian Taketani, komunikasi pembangunan merupakan sebuah proses dialogis, terutama melalui komunikasi interpersonal, untuk membentuk sebuah pemahaman yang sama mengenai pembangunan itu sendiri. Hal ini selaras dengan komunikasi pembangunan di bawah perspektif alternatif (pemberdayaan) yang menekankan adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan tersebut. Tujuannya adalah untuk membentuk rasa ‘handarbeni’, ‘rasa memiliki’ atas pembangunan yang dijalankan.
Kedua, culture and development menekankan pentingnya pemahaman budaya dalam pembangunan. Dalam konteks ini, Taketani memaparkan pentingnya memahami bagaimana sebuah budaya terjadi dan bukan hanya mengapa sebuah budaya terjadi. ‘Not only why culture matters, but how cultures matters’.
Ketiga, Intercultural communication, dimana di dalamnya ada beberapa aspek yang harus dipahami. Pertama, language and relativity of experiences, yaitu bagaimana bahasa, baik verbal maupun non verbal sangat bergantung dari konteks dimana bahasa itu berkembang. Kedua, non behavioral, yang dibedakan menjadi high context dan low context. Penyesuaian terhadap elemen ini penting untuk merumuskan strategi komunikasi yang tepat. Ketiga, communication style suatu komunitas juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Keempat, monochromic and polychromic time, yaitu asumsi suatu kelompok masyarakat terhadap waktu. Kelima, simpati dan empati yang juga menjadi dasar dari bagaimana kelompok memandang orang lain. Dalam elemen ini ada dua konsep yaitu Golden Rule dan Platinum Rule. Golden rule adalah asumsi bahwa semua orang sama sehingga ‘people want to be treated as you do’. Pemahaman ini rawan menjadi ethnocentrism. Berbeda dengan Platinum Rule yang menyadari adanya perbedaan antar kelompok. Empati dan simpati lebih mungkin terbangun diatas asumsi ini. Keenam, nilai dan asumsi yang mendasari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks ini, Taketani menurunkan dari dimensi kultural Hofstede yang akan dibahas lebih lanjut.
Masyarakat Indonesia tidak dapat disamakan dengan masyarakat barat yang berkembang dengan rasionalitasnya. Masyarakat Indonesia yang cenderung komunal memerlukan sentuhan berbeda dalam pemberdayaan. Penulis meminjam analisis dimensi kultural dari Hofstede untuk menjelaskan perbedaan signifikan antara masyarakat barat dengan masyarakat timur, termasuk di dalamnya Indonesia. Dimensi tersebut adalah, (1) individualism vs collectivism; (2) Uncertainty Avoidance; (3) Power Distance; (4) Masculinity vs Feminity.
Pertama, Individualism vs Collectivism. Menurut analisis hofstede, masyarakat timur cenderung kolektif dibandingkan dengan masyarakat barat yang cenderung individualis. Implikasinya adalah pada pemahaman mengenai individu. Pada masyarakat individualis, individu dipandang sebagai individu yang mandiri. Sehingga, mempunyai kebebasan lebih besar untuk berekspresi dan mengembangkan diri. Hal ini berbeda dengan masyarakat kolektif, dimana memandang dirinya sebagai bagian dari sebuah komunitas. Persepsi ini memberi ruang yang relatif lebih sempit bagi individu untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara mandiri. Kebergantungan terhadap komunitas menjadi salah satu penghambat perkembangan individu. Jika dikaitkan dengan konteks pembangunan, kolektivitas dapat menjadi penghambat kemajuan individu. Namun, jika dapat digerakan dengan tepat akan menjadi sebuah modal luar biasa. Hal ini mendorong pentingnya membangun sebuah komunitas sebagai aktor pembangunan. Komunikasi antar budaya tentu saja menjadi salah satu pendekatan yang akan memudahkan upaya ini. Suatu strategi yang perlu dilakukan secara tepat untuk mengelola masyarakat di suatu komunitas wilayah, dengan kebutuhan mereka sendiri, tanpa harus mengubah mereka menjadi masyarakat lain.
Kedua, Uncertainty avoidance, adalah pencegahan terhadap suatu ketidakpastian, termasuk didalamnya perubahan atau inovasi. Menurut indikator dari Hofstede, Indonesia dapat dikategorikan masyarakat yang mempunyai pencegahan ketidakpastian tinggi. Itu artinya, sesuatu yang baru dianggap membahayakan. Dalam tataran ekstrim dapat dikatakan anti perubahan. Sehingga, upaya difusi inovasi pasti akan menemui hambatan. Pembangunan akan lebih sukses jika berasal dari komunitas mereka sendiri, bukan ketidakpastian yang berasal dari luar. Jika saat ini masyarakat Indonesia menjadi high adopter (hobi mengimitasi kebudayaan orang lain), bukan berarti bahwa kecenderungan ini berubah. Perubahan tersebut hanya dipermukaan saja dan tidak mengubah substansi dari suatu kebudayaan yang menjadi akarnya. Jikalau memang berubah, perubahan tersebut hanya terjadi pada masyarakat golongan tertentu saja. Untuk mengetahui secara empiris, riset-riset diperlukan untuk memahami kecenderungan baru ini.
Ketiga, Power distance. Indonesia, menurut indikator Hofstede cenderung ‘high power distance’. Masyarakat Indonesia belum egaliter. Leader dianggap tidak terjangkau, terpisah dari ‘rakyatnya’. Ada stratifikasi yang cukup kuat dalam masyarakat. Budaya ‘sendiko dawuh’ melekat sebagai bentuk kepatuhan rakyat terhadap pemimpin. Asumsinya ada peluang bagi program-program yang sentralistik mendapat respon positif dari masyarakat. Sayangnya, saat ini kepatuhan terhadap pemimpin menjadi cenderung negatif. Tidak berdasarkan pada kesadaran dari dalam, sehingga pelaksanaan pembangunan yang top down menjadi kurang efektif. Namun, inipun masih berdasarkan dari analisis penulis saja belum didukung dengan data-data yang sifatnya empiris.
Keempat, Masculinity vs feminity. Hal ini menjadi kendala dalam mainstreaming perempuan dalam pembangunan. Apakah memang upaya pelibatan perempuan menjadi hal yang signifikan mempengaruhi pembangunan tentu saja masih memerlukan kajian lebih lanjut.
Kekuatan negara adalah kumpulan beragam kepentingan yang bersilang tindih, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, dan etnis, yang menjelma menjadi peradaban bangsa tersebut. Negara harus didirikan dalam bangunan demokrasi yang kokoh yang menghantarkan masyarakat dari beragam etnik dan kepentingan menuju kesejahteraan dalam persamaan hak dan kewajiban. Penekanan pada keanekaragaman kebudayaan, yang harus mencakup tidak hanya kebudayaan suku bangsa, tetapi juga berbagai kebudayaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat di Indonesia, harus dibarengi dengan kebijaksanaan politik nasional yang akan meletakkan berbagai budaya itu dalam kondisi kesetaraan derajat (Salim,2002).
Perubahan sosial bukanlah kekuatan yang saling meniadakan dan menuju kepada identitas tunggal, tetapi perubahan sosial menuju keragaman budaya dan etnis yang mendasari (Salim,2002:5). Pemerintah di negara yang rawan konflik besar perlu mempertimbangkan model pembangunan yang mengutamakan unsur kesukuan (ethno-development).
Yang dibutuhkan adalah sensitivitas terhadap keragaman, dimana pemerintah harus bersikap inklusif dan menjamin adanya akses setiap kelompok etnis, gender, dan agama dalam kegiatan pemerintah dan politik. Model pembangunan yang berasal dari basis kekuatan rakyat tidak sekedar menjadi retorika pembangunan, tetapi memang benar-benar menjadi basis kebutuhan lokal yang muncul sebagai kekuatan kebudayaan.
Komunikasi Antar Budaya menjadi salah satu jalan keluar. Ethno-development. Sebuah proses pembangunan yang berdasar pada keragaman budaya. Masing-masing wilayah mempunyai karakter dan kebutuhan sendiri, sehingga memerlukan penanganan berbeda. Disini partisipasi akan lebih dimungkinkan ketika mereka merasa memang membutuhkan. Semangat pembebasan itulah yang harus ditekankan sehingga mereka mampu memutuskan secara mandiri mau dibawa kemana kehidupan mereka selanjutnya.
PENUTUP
Selama ini, negara berkembang ‘dikasihani’ oleh negara maju dengan diberikan sejumlah nilai-nilai kemajuan yang kadang tidak pas dengan kebutuhan. Perubahan pada semangat pemberdayaan membuat negara berkembang, termasuk Indonesia lebih mempunyai kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri. Hanya saja, ternyata semangat itu tidak bisa serta merta diadopsi tanpa melihat konteks masyarakat setempat. Oleh karena itu, sentuhan perspektif lokal menjadi mutlak untuk dilakukan. Salah satu cara yang ditawarkan penulis adalah dengan mengambil kepekaan dari perspektif komunikasi antar budaya sebagai pisau analisis. Dengan pengembangan riset-riset komunikasi antar budaya, akan mampu dipetakan dengan lebih jelas mengenai keadaan masyarakat Indonesia yang plural. Implikasinya adalah pada perumusan kebijakan yang tepat untuk mendukung pemberdayaan yang tepat pula untuk Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Gudykunst, William B., Mody, Bella. 2002. Handbook of International and Intercultural Communication. 2nd edition. California : Sage Publication.
Harun, H. Rochajat., Ardianto, Elvinaro. 2011. Komunikasi Pembangunan & Perubahan Sosial : Perspektif Dominan, Kaji Ulang, dan Teori Kritis. Jakarta : Rajawali Pers.
Hedebro, Goran. 1982. Communication and Social Change in Developing Nations: A Critical View. Iowa: The Iowa State University Press.
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. California: Wadsworth.
Melkote, Srinivas R., Steeves, H. Leslie. 2001. Communication for Development in the Third World : Theory and Practice for Empowernment. New Delhi : Sage Publication.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta : Tiara Wacana Jogja.
Sulistyowati, Fadjarini, dkk (ed). 2005. Komunikasi Pemberdayaan. Yogyakarta : APMD Press.
Suparjan dan Suyatno, Hempri. 2003. Pengembangan Masyarakat : dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta : Aditya Media.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
West, Richard., Turner, Lynn H. 2010. Introducing Communication Theory : Analysis and Application.New York : Mc Graw Hill.
Wrihatnolo, Randy R., Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2007. Manajemen Pemberdayaan : Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Jurnal
Agusta, Ivanovich. 2007. Kritik atas Komunikasi Pembangunan dan Program Pengembangan Kecamatan. Diunduh dari http://ivanagusta.files.wordpress.com/2009/04/ivan-komunikasi-pembangunan-ppk-indonesia.pdf pada 10 Januari 2012 pukul 19.17.
Amanah, Siti. 2007. Pola Komunikasi Pelaksanaan Program Pemberdayaan Perempuan Pada Proyek Pengembangan Partisipatif Lahan Kering Terpadu. Diunduh dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/430896101.pdf. Pada12 Juni 2011 pukul 17.30.
Gunawan, Achmad. 2008. Pemberdayaan dan Konflik.
Studi tentang Sosiografi dan Jaringan Komunikasi pada
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Gondowangi
Kecamatan Wagir Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Diunduh dari http://digilib.umm.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptummpp-gdl-s2-2008-achmadguna-13370&PHPSESSID=42d6ee65b827a38f44956092d28ba985. Pada 12 Juni 2011 pukul 16.55.
Taketani, Kaesuke. 2008. Intercultural Communication for Development: An exploratory study of Intercultural Sensitivity of the United Nations Volunteer Programme using the Developmental Model of Intercultural Sensitivity as framework. Diunduh dari http://dspace.mah.se:8080/bitstream/handle/2043/7099/ComDev%20KT%20Final.pdf?sequence=1. Pada 16 Januari 2012. Pukul 14.10 wib.
Wayan, Suadnya I. 2005. Empowering or Overpowering? Engaging Community for Sustainable Coastal Development in Lombok, Indonesia. Diundah dari http://www.engagingcommunities2005.org/abstracts/Suadnya-I-Wayan-final.pdf. Pada 12 Juni 2011 pukul 16.37 wib.
Lain-lain