A Case Study on the Usage of ‘Village Portal’ and ‘Village-Partnership System’ to Establish Village Self-Dependence in the Village-to-Develop Movement (Gerakan Desa Membangun) at Banyumas Regency of Central Java Province in 2011-2012
Author: Lisa Lindawati
Abstract
The village development program has so far tended to position village as an object. The Village-to-Develop Movement (Gerakan Desa Membangun/GDM) strengthens village to become the subject of development. Being a subject, village will be self-dependence. One of the strategies in establishing the village self-dependence is using new media. This study reviewed how the development communication creates the village self-dependence by utilizing new media such as Village Partnership System (Sistem Mitra Desa) and ‘Village Portal’ in the Village-to-Develop Movement (Gerakan Desa Membangun). By virtue of a study case method, this study tried to describe clearly the contemporary, unique phenomenon taking place in this movement. After a series of studies, it was found out that Development Communication of this movement used the technology relevant to the focus of development and the requirement of villagers. Also, this movement considered participatory communication in promoting the community participation and capacity. With the synergy between proper technology and participatory communication, the village obtained its self-dependence as shown by the fulfillment of community requirements, the empowerment of local institution, and the village participation as the main actor in the development process. Additionally, the process of technology utilization has opened a room for social learning by taking into account the local potential and knowledge, which was then communicated to the public. It means that village can communicate itself. The findings showed that development communication by using new media in accordance with the village requirements, along with the existence of participatory communication, can create village self-dependence.
For full article please contact us or click this link
Author: Lisa Lindawati
Abstrak
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mendorong lahirnya generasi digital atau Digital Natives. Generasi ini tumbuh dalam era informasi yang berlimpah ruah (information overload). Mereka mempunyai akses yang lebih tinggi terhadap media digital dibandingkan dengan generasi sebelumnya (Digital Immigrants). Hal ini melebarkan peluang bagi digital natives menjadi komunitas yang ‘well-informed’ dan bertransformasi menjadi ‘well-participate’. Sayangnya, information overload juga bisa menjadi bumerang. Di era informasi yang serba cepat, Jurnalisme sebagai sebuah ideologi menjadi sangat longgar. Alih-alih membentuk kaum muda yang ‘well informed’ dan ‘well participate’, kualitas informasi, dalam hal ini berita, yang buruk justru akan merentangkan jarak digital natives dengan kehidupan berdemokrasi. Kekhawatiran tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar. Hasil penelitian ini menunjukkan Digital Natives menyikapi information overload sebagai sebuah fakta bukan masalah. Digital Natives menempatkan internet sebagai sumber berita utama. Hanya saja, internet belum mendapat kepercayaan penuh dari kaum muda. Surat Kabar dan Televisi masih menjadi media yang lebih dipercaya dibanding internet. Meskipun demikian, membaca berita sudah menjadi keseharian untuk mengikuti perkembangan. Motif ini terlihat dari kebiasaan mereka mengikuti timeline media sosial. Digital Natives juga terbiasa membandingkan berbagai sumber berita. Hanya saja, sebagian dari mereka tidak konsisten dalam mengikuti perkembangan berita. Mereka bergantung pada timeline media sosial. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan pemahaman yang tidak utuh atas suatu peristiwa. Disamping itu, kecepatan yang selama ini didewakan oleh para jurnalis online ternyata bukan karakter terpenting yang dibutuhkan. Kejelasan berita menjadi prioritas utama. Menariknya, disamping membutuhkan berita yang jelas dan ringkas, kaum muda juga menginginkan berita online yang mendalam. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi institusi media untuk memperbaiki produknya.
For further data please download link below
Pola Akses Berita Online Kaum Muda
Qualitative Content Analysis, Trend of News Poverty in Yogyakarta by Local Media Online ‘Kedaulatan Rakyat’ and ‘Tribun Jogja’
Author : Lisa Lindawati
Abstract
The media are important actors in building public discourse. Its strength as an agenda setter is able to direct attend the public, including the policy makers. The media seemed to be a selector for the various elements to determine which issues are crucial and which are not. With this power the media has a strategic role in mainstreaming various crucial subjects that require immediate action. One of them is poverty. Poverty remains a major agenda in this country. Unfortunately, the role of the media in this issue is not yet optimal. It was shown in a study conducted in the local media in Daerah Istimewa Yogyakarta, which incidentally is a poor region in Indonesia.
First, the issue of poverty is expected to become the mainstream has not been able to for reviews sharply from the local media. It is seen from the low level and consistency coverage preaching. Local media tend to focus on events, not on issues that require digging deeper. Second, poverty reports in local media online still tend to rely on formal sources and provide minimal space for the voice of the grassroots. Consequently preaching poverty tend to examine the problem from one side (one-sided). This is contrary to the spirit that carried cover both-side in journalism itself. Method of delivery is an indicator neutral objectivity. Unfortunately, neutrality makes news, in the local online media, poor interpretation. This is related to the third conclusion, that the media have not been sensitive in capturing the issue of poverty. Poverty is still seen as dealing with charities that contrast with the spirit of empowerment that should be the spirit of the current development. In addition, the media also have not been able to define the root causes of poverty firmly. Interestingly, more daring media define an appropriate solution to poverty reduction.
We need to think about the future of the media regarding their role in poverty alleviation. The results of this study are expected a picture of extending the relationship and the beginning of the media’s role in these issues. Hope for the future, various stakeholders should strive to enable the media as an accelerator of development, especially poverty reduction. It takes a special association to discuss the issue. Followed by a variety of training and work for poverty-prone areas. If necessary, the model may be initiated an award for journalists able to preach poverty well. Thus journalists superior to understand the issue and proclaim correctly. Furthermore is to produce news that affects the handling of poverty itself.
For further information about this research please contact me
Author: Lisa Lindawati
Abstract
The existence of new media blurs the dichotomy between media and audiences. Production of information is no longer monopolized by the mainstream media. It is challenging and convey a significant impact on journalism. New media fertilize what is called the Citizen Journalism. Production of information is no longer controlled by the ‘educated’ and ‘modern’ communities. This condition allows the grassroots community get a chance to speak up. One is a village in the ‘Gerakan Desa Membangun’ networks . By Using Village Portal, the Village has been turned into productive producers of information. Their motive is to present a counter representation of the Village. In this context , the tendency of news content into a fascinating study. By using the qualitative content analysis, the results of this study indicate there is optimism that want presented through new media. Portal Village presents the viewpoint of ‘ordinary people’. Villagers got a dominant place. This shows the strength of the village as community that wants to exist , that they are there , they are Voiced , and they are empowered.
Diterbitkan dalam Jurnal IPTEK-KOM (Jurnal Komunikasi, Informatika, dan Kebijakan)
Volume 16 No.2 Desember 2014 hal. 133-150
ISSN 1410-3346
Terakreditas LIPI No 468/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
For full paper please download link below
Studi Kasus Peran Media Lokal Online dalam Mengarusutamakan Wacana Desa sebagai Komunitas Mandiri di wilayah Kabupaten Banyumas Jawa Tengah pada tahun 2013-2014
Author: Lisa Lindawati, Rezha Rosita Amalia, Rani Eva Dewi
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadikan informasi dan komunikasi sebagai elemen penting penggerak masyarakat. Disamping itu, perkembangan TIK menggeser otoritas media sebagai produsen tunggal informasi dalam ruang publik. Hal ini memberikan peluang bagi komunitas masyarakat rentan, dalam konteks ini adalah masyarakat desa, untuk melakukan percepatan pembangunan. Salah satu strateginya adalah dengan mempunyai akses dan kemampuan produksi serta kontrol informasi untuk membangun representasi dan komunikasi yang tepat dengan berbagai stakeholder. Hanya saja bukan berarti menanggalkan peran media arus utama sebagai pembangun wacana. Yang perlu dilakukan adalah menemukan model sinergitas antara kekuatan media komunitas dan media arus utama dengan optimalisasi pemanfaatan TIK dalam mendorong Kemandirian Komunitas Desa. Setelah sebelumnya melakukan penelitian terkait dengan kekuatan media komunitas, peneliti ingin menggali kekuatan media arus utama dalam mendorong kemandirian masyarakat. Targetnya adalah memetakan peran media arus utama, lebih spesifik adalah media lokal online, dalam mengarusutamakan informasi Desa.
Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan metode studi kasus. Metode ini memberikan fleksibilitas peneliti untuk mengumpulkan data dengan menggunakan variasi metode pengumpulan. Selain itu, metode ini mampu mengejar kedalaman dan keunikan suatu fenomena untuk kemudian direfleksikan dalam konteks yang lebih luas. Peneliti mengambil kasus di wilayah Kabupaten Banyumas dengan pertimbangan perkembangan media komunitas dan media lokal yang sangat dinamis. Lebih spesifik, peneliti memilih dua harian online terkemuka di wilayah tersebut, yaitu Radar Banyumas (www.radarbanyumas.co.id), dan Satelit Post (www.satelitnews.co).
Dari hasil penelitian, peran media arus utama dalam menguatkan wacana Desa belum dapat dikatakan signifikan. Pasalnya, konsistensi atas isu Desa masih sangat minim. Dari sudut pandang media arus utama, terutama media lokal, Desa memang sudah selayaknya mendapat koverasi yang dominan. Hanya saja sumber daya liputan dan keluasan wilayah Desa tidak berimbang. Disamping itu, belum ada kebijakan redaksional yang secara eksplisit memprioritas isu penting Desa. Hal ini menyebabkan pemberitaan mengenai Desa terlihat tidak konsisten dan tidak terkonsep. Belum ada pembingkaian yang tegas dalam mewacanakan isu Desa.
Selain belum konsisten, isu yang dikembangkan dalam media arus utama lebih banyak yang bernada negatif dibandingkan dengan positif. Desa lebih banyak ditempatkan sebagai objek dari berbagai program pembangunan alih-alih ditempatkan sebagai subjek yang aktif mengembangkan dirinya sendiri. Hal ini juga dapat dilihat dari pemilihan narasumber dimana komunitas Desa tidak diberikan tempat yang strategis. Suara pemerintah Daerah masih menjadi primadona yang menjadi dasar pembingkaian media. Dalam konteks ini, pemahaman mengenai nilai berita dianggap menjadi penyebab perbedaan persepsi antara jurnalis profesional dengan warga Desa ataupun Jurnalis Warga. Sehingga, isu yang dianggap penting oleh Desa belum tentu dilihat sebagai isu yang bernilai berita. Pemahaman inilah yang harus dilihat secara serius dalam menemukan model sinergi yang tepat.
Media lokal mengakui lemahnya peran mereka dalam mengatusutamakan wacana Desa. Berita baiknya, mereka mempunyai iktikad baik untuk meningkatkan perannya dalam memberdayakan komunitas Desa. Terlebih dengan disahkannya UU Desa No 6 tahun 2014, dimana Desa diberikan otoritas yang lebih besar dalam mengelola pembangunannya. Perlu ada sinergi antara jurnalis media lokal dengan para jurnalis warga ataupun masyarakat Desa pada umumnya. Salah satu langkah konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan menginisiasi sebuah forum yang mempertemukan dua elemen tersebut. Dengan demikian, media tidak lagi memarginalkan suara Desa tetapi justru membantu mengeraskan suara Desa.
For further information about this research please contact us
A Case Study of the Citizen Journalism Practice Using New Media as a Medium of Empowering the Villagers at Banyumas Regency in 2012-2013
Author: Lisa Lindawati
Abstract
Village is basis of the poor in Indonesia. This condition has placed Village as the main target of the poverty-eradicating program. Unfortunately, the development program that has been implemented in Village is ineffective. So far, Village is viewed more as passive object with limited authority to manage itself independently. The condition above encourages a group of community at Banyumas Regency to initiate a movement called Gerakan Desa Membangun (Village-to-Develop Movement). By the utilization of Information and Communication Technology, the Movement encourages Village to develop various kinds of the internet-based media. One of the new media developed is Village Portal (Village Website). This portal gives room to inform any potentials and activities of the Village through cyber world. It is here that the Village practices Citizen Journalism.
This study was a case study to reveal how new media, as new medium in the Citizen Journalism practice, become powerful weapon to reinforce the Village’s representation in the discourse competition at the public sphere. The ultimate result is the increasing bargain position of the Village before various stakeholders. The finding showed that the democratization of information and communication media becomes the key factor in establishing an empowered community. By taking hold of such media, they are able to control the information. With this power, they become a community with high bargain power before the stakeholders.
For further information about this research please contact me
A Case Study on the Usage of ‘Village Portal’ and ‘Village-Partnership System’ to Establish Village Self-Dependence in the Village-to-Develop Movement (Gerakan Desa Membangun) at Banyumas Regency of Central Java Province in 2011-2012
Abstract
The village development program has so far tended to position village as an object. The Village-to-Develop Movement (Gerakan Desa Membangun/GDM) strengthens village to become the subject of development. Being a subject, village will be self-dependence. One of the strategies in establishing the village self-dependence is using new media. This study reviewed how the development communication creates the village self-dependence by utilizing new media such as Village Partnership System (Sistem Mitra Desa) and ‘Village Portal’ in the Village-to-Develop Movement (Gerakan Desa Membangun). By virtue of a study case method, this study tried to describe clearly the contemporary, unique phenomenon taking place in this movement.
A big question arises in this research is how development communication creates the village self-dependence by utilizing ‘Village Portal’ and Village Partnership System in the Village-to-Develop Movement (Gerakan Desa Membangun) at Banyumas Regency. The Village-to-Develop Movement (Gerakan Desa Membangun/GDM) is a common initiative involving multi-parties for a purpose of strengthening the capacity of village management and the competency of villagers to establish development initiative. The GDM has also a purpose of establishing village cooperation and relationship for a mutual support in the village development. This movement emerged as a criticism against the practice of village development tending to be top-down rather than bottom up. Village has so far been the object of development rather than being the subject. The Village-to-Develop Movement intends to demonstrate that village is able to be the subject of development.
In achieving such purpose, the Village-to-Develop Movement utilizes Information and Communication technology, particularly new media. This movement has chosen to use an ‘open source’ technology as the basis of developing various applications. The BlankOn Operation System becomes the used choice. It also develops the Village Partnership System to promote the population data at village and ‘Village Portal’ as the channel of any village information to the outside world.
From the general results of this study, it can be seen how development communication has created the village self-dependence. In view of the self-dependence principle, technology is positioned as an enabler controlled by the users, not vice versa. By considering the self-dependence principle, communication runs in a participatory way. Supported by the improving spirit of village autonomy, as a strategy, practice and use of technology, development communication can produce village-self dependence.
The results achieved by the Village-to-Develop Movement are an evidence of village capacity in developing good governance and managing information. By the good governance, information can be continually produced, distributed and managed to improve the village bargaining power before any stakeholders. This indicates a great opportunity to render more power to the village. The local governing policy is properly required to legalize this movement. Village is an autonomous entity having the power to develop itself. It is proper that the village government renders more authority to the village to develop itself.
For further information about this research please contact me
Author: Lisa Lindawati
ABSTRAK
Media di Indonesia seperti tidak berdosa ketika memberitakan konflik. Berbekal pada prinsip objektivitas, memberitakan apa adanya, media tidak jarang justru menyulut konflik baru. Pertanyaannya adalah, apakah objektivitas tersebut salah? Atau pemahaman terhadap objektivitas yang salah? Konflik adalah salah satu nilai berita. Tidak heran jika media senantiasa memberitakan konflik. Masalahnya adalah bagaimana media memberitakan konflik. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi bagaimana sebenarnya memahami objektivitas dalam pemberitaan konflik. Pemahaman ini menjadi penting untuk menempatkan media sebagai pendukung ketahanan nasional. Informasi yang benar dan jelas menjadi kunci penting untuk mewujudkan negara Indonesia yang berdaulat, bukan informasi provokatif yang justru membahayakan pertahanan tersebut.
Pendahuluan
Konflik adalah salah satu nilai berita yang kuat. Tidak mengherankan jika media ‘hobi’ untuk memberitakan konflik. Tidak heran pula jika konflik menjadi salah satu ‘favorit’ media untuk menjadi sebuah headline. Namun, ada keresahan ketika media memberitakannya dengan dramatis. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana media memberi judul pada berita-berita konflik. Selain itu, rasa dramatis juga direpresentasikan dari cuplikan kejadian yang diliput, baik dalam bentuk foto maupun audio visual. Belum lagi ditambah dengan narasi yang menambah kengerian audiens.
Jika pertanyaannya adalah, apakah konflik-konflik tersebut benar-benar terjadi? Sungguh sebuah penodaan besar bagi media jika jawabannya tidak. Sebab, hal tersebut memang benar-benar terjadi. Pembakaran, perkelahian, pengeboman, kerusuhan, penjarahan, dan masih banyak lagi memang sedang banyak terjadi di negara ini. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah harus seperti itu menyajikan kebenaran konflik?
Objektivitas menjadi isu sentral dalam kode etik jurnalistik. Menyajikan sebuah fakta apa adanya fakta. Namun, jika melihat berbagai pemberitaan kasus konflik, sepertinya objektivitas tersebut perlu dikaji ulang. Itulah fokus dari tulisan ini. Mencoba untuk menelusuri konsep objektivitas dalam jurnalisme. Apakah objektivitas yang diterapkan dalam pemberitaan konflik, khususnya di Indonesia, memang sudah tepat. Ataukah perlu ada pendefinisian ulang terhadap konsep tersebut. Jika memang perlu, bagaimana bentuk objektivitas yang sesuai dalam pemberitaan konflik.
Kepentingan untuk mengkaji ulang objektivitas dalam berita konflik tidak dapat dilepaskan dari peran media sebagai pendukung ketahanan nasional. Dalam pengertian luas, ketahanan nasional dapat didefinisikan sebagai sebuah kekuatan yang menjaga eksistensi dan kedaulatan dari suatu negara. Disinilah peran semua elemen dalam menciptakan pertahanan tersebut menjadi penting, termasuk di dalamnya media. Ketersediaan informasi yang benar menjadi penting untuk menjadi bekal pengambilan keputusan yang tepat dalam menjaga eksistensi dan kedaulatan tersebut. Kebenaran informasi itulah yang akan dikejar dalam memahami prinsip objektivitas dalam berita konflik.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan memulainya dengan penjelasan mengenai objektivitas dalam jurnalisme itu sendiri. Ada pergeseran perspektif yang harus ditangkap dalam mendefinisikan objektivitas. Kemudian, penulis akan memaparkan mengenai konflik. Penjelasan ini bertujuan untuk memberikan frame pemahaman mengenai peristiwa konflik. Selanjutnya, merangkum dari dua konsep tersebut, objektivitas dan konflik, penulis memberikan beberapa pemikiran para ilmuwan yang concern dengan jurnalisme dalam konflik. Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi acuan untuk menempatkan pemahaman objektifitas berita konflik dalam konteks Indonesia.
Memahami Objektivitas dalam Jurnalisme
Objektivitas adalah pusat dari etika media. Objectivity is the media’s natural and ideal public ethic (Kaplan, 2010). Menyajikan peristiwa berdasarkan fakta di lapangan. Begitu kiranya pemahaman sederhana dari term tersebut. Setidaknya itulah pemahaman mengenai obektivitas dari paham realisme, yang mencita-citakan bahwa media bisa menjadi sebuah cermin kebenaran (truth). Kebenaran ditekankan pada akurasi observasi terhadap suatu kejadian. “True beliefs fit with or correspond to the world as it really is”(Ward, 2009). Dalam praktik jurnalistik, media tidak seharusnya menambahi atau mengurangi apapun dari sebuah fakta atau peristiwa yang terjadi. Ward (2009) memaparkan,
“A report is objective if and only if it is a factual, accurate recording event. It reports only the facts, and eliminate comment, interpretation, and speculation by the reporter. The report is neutral between rival views on an issue.”
Media tidak diperbolehkan, bahkan untuk sekedar memberikan interpretasi dan analisis dari sebuah peristiwa. “It is the mission of the reporter to reproduce facts and the opinion of others, not to express his own” (Ward, 2009). Itulah pandangan ‘konvensional’ dari makna objektivitas jurnalisme.
Setidaknya ada 6 standar objektivitas dalam berita (Ward, 2009). (1) faktual, sesuai dengan fakta yang sudah diverifikasi; (2) seimbang dan fair (balance and fairness); (3) non-bias; (4) independen; (5) non interpretation; (6) netral. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Denis McQuail (2010). Dalam konsep McQuail, objektivitas dapat dilihat dari dua hal. (1) Factuality, dimana didalamya harus mengandung kebenaran, informatif, dan relevan terhadap kebutuhan masyarakat. (2) Impartiality, yaitu memberitakan dengan seimbang dan netral.
Lebih lanjut, McQuail menjelaskan setidaknya ada tiga poin krusial yang harus dipahami mengenai objektivitas dalam praktik jurnalisme. Pertama, media harus menyediakan informasi yang memadai dan relevan mengenai peristiwa dalam masyarakat dan dunia global. Kedua, Informasi harus objektif dalam pengertian faktual, akurat, jujur, cukup lengkap, dan sesuai dengan kenyataan, dan reliabel dalam pengertian sudah melalui proses kroscek dan terhindar dari opini. Ketiga, Informasi seharusnya seimbang dan tidak terpotong (impartial), memberikan perspektif alternatif dan interpretasi dalam bahasa yang tidak sensasional, tidak bias. Upaya ini dilakukan seoptimal mungkin.
Dibawah sebuah objektivitas, jurnalis mengadopsi metode para ilmuwan alam dan ‘berjanji’ untuk mengurangi nilai kepercayaan mereka sendiri dan juga nilai yang mengarahkan, mengurangi, ataupun menambahkan apa yang sudah dikatakan dan dilakukan. Tujuannya adalah untuk menghindari penilaian subjektif dan analisis. Jurnalis harus berjuang untuk memberitakan secara holistic. Jurnalis harus menjadi seorang kolektor informasi yang profesional. Seperti disampaikan oleh pendiri Fox (Ward, 2009), “We report, You decide”. Jurnalis hanya bertugas untuk melaporkan, dan tugas masyarakatlah untuk memutuskan apa yang harus dilakukan ataupun bagaimana menilai sebuah berita.
Seorang reporter yang objektif sudah seharusnya terpisah dari peristiwa. Mereka harus mengeliminasi semua opini. Mereka hanya sekedar melaporkan fakta. Objektivitas dianggap sebuah metode untuk memproduksi dengan akurat, pelaporan kebenaran, dan menunjukkan independensi seorang jurnalis profesional. Namun, ternyata pemahaman ini tidak diterima secara utuh oleh semua kalangan jurnalis. “Today, the pillar of truth andobjectivity show serious wear and tear” (Ward, 2009). Ada yang ‘keberatan’ dengan pemahaman konvensional atas objektivitas. Pandangan ini mendapat banyak kritik karena mengabaikan fungsi lain dari jurnalisme itu sendiri.
Untuk memahami ulang mengenai objektivitas, perlu kiranya kembali memahami peran pers di tengah masyarakat. Istilah yang paling sering digunakan untuk menjelaskan peran pers dalam masyarakat adalah ‘The Fourth Estate’. Istilah ini tidak berdefinisi tunggal tetapi merujuk pada pengertian yang sama, yaitu mengenai relasinya dengan masyarakat dan demokrasi. “The idea of the fourth estate, and therefore the meaning of news and journalism and their relationship with democracy and society” (Berry, 2005). Hampton (2010) menjelaskan dua model peran pers terkait dengan kekuatannya sebagai pilar keempat. Pertama, pers adalah jembatan antara masyarakat dengan negara. Dalam konteks ini, tugas pers hanyalah meyakinkan semua warga dapat berkomunikasi antara satu dengan yang lain, termasuk dengan negara. Kedua, representative model, dimana pers tidak hanya sekedar penghubung tetapi juga mampu menjadi ‘wakil’ dari masyarakat. The press reflected readers interest.
Kedua model ini mempunyai pengaruh signifikan terhadap pemahaman atas objektivitas. Dalam pandangan pertama, tidak berbeda dengan pandangan konvensional, bahwa seorang jurnalis sudah cukup sekedar melaporkan fakta saja. Hal ini cukup memenuhi fungsi sebagai penghubung antara masyarakat dengan negara. Sedangkan dalam pandangan kedua, pemahaman konvensional tidak cukup mewakili fungsi pers yang sebenarnya. Sebagai representasi dari masyarakat, media tidak dapat hanya berhenti pada menyampaikan fakta. Ada fungsi lebih ‘dalam’ yang harus dipenuhi oleh pers.
Secara ideologis, ada beberapa alasan keberatan terhadap objektivitas ‘konvensional’ (Ward, 2009). Pertama, objektivitas dianggap hanya sebuah mitos yang tidak akan dapat benar-benar dicapai. Kedua, membuat jurnalis harus menggunakan format baku. Hal ini menyebabkan tulisan tersebut miskin akan analisis dan interpretasi. Objektivitas mengabaikan fungsi lain dari pers itu sendiri, seperti komentar, kampanye, maupun berperan sebagai ‘anjing penjaga’. Ketiga, membatasi kebebasan pers. Demokrasi lebih baik diwarnai dengan beragam opini sehingga muncul ‘marketplace of ideas’.
Selain faktor ideologis, Ward (2009) juga menjelaskan beberapa faktor eksternal yang menyebabkan objektivitas maupun kebenaran ‘konvensional’ mulai disangsikan. Pertama, post modern scepticism mengenai kebenaran objektif. Henry Luce (Ward, 2009) mengatakan, “Show me a man who thinks he is objective and I’ll show you a liar”. Dia berpendapat bahwa dalam dunia yang kompleks perlu ada penjelasan dan interpretasi. Kedua, kesinisan terhadap kode etik yang dikalahkan oleh motif pencarian keuntungan industri media. Ketiga, jurnalisme ‘non-objective’ adalah terbaik untuk pembentukan wacana yang interaktif.
Terkait faktor eksternal kedua yang dipaparkan oleh Ward, Kaplan (2010) berpendapat bahwa keberadaan pers sebagai fourth estate diganggu oleh komersialisasi. Ada beberapa hal yang mendorong terjadinya komersialisasi. (1) perkembangan teknologi menimbulkan konglomerasi media, mengingat biaya produksi tinggi; (2) sebagian besar media merupakan konglomerasi dari industri non media; (3) pergeseran nilai berita menjadi hal-hal yang cenderung menarik pengiklan; (4) orientasi terhadap profit menyebabkan penekanan besar-besaran terhadap biaya perolehan berita (newsgathering).
Penjelasan lain yang dapat membantu memahami kondisi ini disampaikan oleh Alan McKee dalam The Public Sphere : An Introduction (2005). Menurunkan dari konsep Jurgen Habermas, media dipahami sebagai sebuah public sphere (ruang publik), dimana didalamnya dibentuk wacana yang berguna bagi kepentingan bersama. Public interest menjadi sebuah istilah yang mencerminkan tujuan dari keberadaan ruang publik tersebut. Namun, keberadaan ruang publik saat ini sudah teracuni setidaknya oleh lima hal. Pertama, trivialization, dimana ruang publik dipenuhi dengan hal ‘remeh temeh’. Implikasinya adalah pada wacana yang dihasilkan oleh keberadaan ruang publik, termasuk di dalamnya media. Kedua, commercialization, seperti yang telah dipaparkan oleh Ward, bahwa media sudah dikooptasi oleh kepentingan bisnis. Orientasi terhadap keuntungan mematahkan semangat menjunjung kepentingan bersama. Ketiga, spectacle, ruang publik kita dipenuhi oleh ‘masyarakat penonton’. Kecenderungan hanya menikmati dan menonton sebuah peristiwa menurunkan secara drastis real engagement masing-masing individu dalam mengupayakan pemenuhan kepentingan bersama. Keempat, fragmentation, dimana ruang publik sudah terpecah sedemikian rupa yang meminimalisir kesatuan ide dan wacana. Kelima, Apathy, yaitu terdiri dari individu-individu yang apatis terhadap kepentingan bersama.
Keadaan ini membuat objektivitas yang dicita-citakan kaum realis semakin terdistorsi. Hanya saja hal ini tidak boleh kemudian membuat seorang jurnalis mengorbankan ‘objektivitas’ dan menyerah kepada keadaan menyulitkan. Yang harus dilakukan adalah mendefinisikan kembali objektivitas tersebut. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan kembali pada hakikat awal keberadaan pers itu sendiri. Jika kemudian kita masih percaya dengan peran pers sebagai ‘The Fourth Estate’, sudah sepatutnya kita kembali pada komitmen untuk menjunjung tinggi kepentingan publik, dalam kaitannya dengan demokrasi. Pers, dalam keadaan bagaimanapun, harus tetap mampu berkontribusi dalam menumbuhkan iklim demokrasi yang sehat, dengan menjunjung kepentingan publik. Lippman (Ward, 2009) mengatakan, “only served democracy if it provided objective information about the world, not ‘stereotypes”.
Selalu ada konflik kepentingan yang muncul dalam aktivitas keseharian seorang jurnalis. Konflik tersebut dapat muncul diantara berbagai pilihan moral, tentang kebutuhan publik dan apa yang ingin diketahui, dan juga motif keuntungan, individu reporter itu sendiri, politik, agama, dan bias lainnya. Konflik ini memunculkan ketegangan mengenai refleksi pilihan moral tentang bagaimana melaporkan fakta. Meskipun demikian, ada sebuah komitmen yang harus senantiasa dipegang. “Journalist are morally commited to maximally relevant truth-telling in the public interest and force the public good” (Jacquette, 2010).
Untuk menjawab tantangan ini, Ward (2009) memberikan alternatif teori untuk melihat truth and objectivity. Ward menawarkan sebuah konsep ‘Pragmatic Objectivity’. Ward menjelaskan bahwa “objectivity is valued, pragmatically, as a means to the goals of truth, fair judgement and ethical action”. Ada 5 tahap yang ditawarkan (1) journalism as Active, Truth Seeking Inquiry; (2) Journalism as an Interpretive Exercise; (3) Objectivity as Holistic Testing Interpretation; (4) Testing as Based in generic and domain specific standard; (5) Objectivity not opposed to passion. Meskipun masih parsial, setidaknya alternatif ini menjadi kajian awal untuk mendefinisikan kembali prinsip objektivitas dan kebenaran dalam jurnalisme. Ada kebutuhan nyata untuk memahami objektivitas tidak sekedar menyajikan fakta tetapi juga memperhatikan beberapa elemen lain agar tidak ‘menyakiti’ kepentingan publik. Elemen-elemen inilah yang akan dielaborasi lebih lanjut.
Memahami Konflik
Konflik merupakan keadaan anomali. Keadaan yang bertolak belakang dari suatu kondisi stabil. Dalam Teori Struktural Fungsional, konflik dianggap sebagai suatu masalah yang mengancam stabilitas suatu sistem. Salah satu pemikir di bawah bendera kelompok teori ini adalah Talcott Parson. Dalam teorinya, setidaknya ada empat elemen yang saling mendukung kestabilan sistem, yaitu Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency. Kemudian, teori ini dikembangkan oleh Robert Merton yang mensangsikan teori Talcott Parson. Robert Merton tidak sependapat bahwa setiap sistem selalu menuju pada stabilitas. Ada kalanya sistem tersebut lari kearah negatif, yaitu ketidakstabilan. Konsep disfungsi sistem menjadi penyempurnaan dari Teori Talcott Parson. Selain itu, ada beberapa pemikir lain yang mencoba untuk memberikan sumbangan perspektif Struktural Fungsional.
Meskipun sudah mengalami pergeseran sedemikian jauh, Teori Struktural Fungsional tidak cukup mampu menjelaskan kondisi riil masyarakat. Teori di bawah perspektif ini cenderung abai terhadap pergerakan masyarakat yang menimbulkan konflik. Seperti telah disebutkan sebelumnya, konflik dianggap sebagai masalah dalam sebuah sistem. Padahal, konflik adalah sesuatu yang ‘pasti’ ada dalam masyarakat. Kelemahan ini kemudian mendorong lahirnya teori berbasis konflik. Sebagai ‘kebalikan’ dari Teori Struktural Fungsional, teori konflik meletakkan basis analisisnya pada konflik. Salah satu yang mengembangkan teori ini adalah Lewis Coser (Ritzer dan Goodman, 2003). Dalam pengertian sederhana, konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang berpikir memiliki tujuan tidak sejalan. Ada beberapa situasi yang melibatkan atau dapat menciptakan konflik (Pecojon, 2011). (1) Sumberdaya terbatas; (2) Komunikasi yang kurang atau tidak ada sama sekali antara pihak yang terlibat; (3) Pihak terlibat mempunyai persepsi yang salah satu sama lain; (4) Terdapat kurangnya rasa percaya; (5) Sengketa yang tidak terselesaikan di antara mereka; (6) Para pihak tidak menghargai hubungan diantara mereka; dan juga (7) kekuatan tidak tersebar secara merata.
Coser (Ritzer dan Goodman, 2003) mengembangkan apa yang disebut dengan ‘The Function of Social Conflict’. Konflik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika masyarakat. Konflik tidak sepenuhnya negatif. Konflik mempunyai beberapa fungsi. (1) Konflik mampu membantu mempererat ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. (2) Konflik dengan satu kelompok dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain. (3) Konflik dapat mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi. (4) Konflik juga membantu fungsi komunikasi. Konflik memungkinkan kedua pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif masing-masing kelompok dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling berdamai.
Untuk memahami konflik, ada beberapa elemen yang perlu dilihat dengan jelas. Segitiga Konflik menjadi alat bantu untuk melihatnya (Pecojon, 2011). Pertama, tingkah laku. Dalam konflik, tingkah laku adalah hal yang paling kentara untuk dilihat. Apa dan bagaimana yang dilakukan oleh pihak berkonflik dapat dengan jelas dilihat dari perilaku. Namun, tingkah laku tidak dapat merepresentasikan posisi sebenarnya dari kepentingan pihak berkonflik. Oleh karena itu harus diperhatikan juga elemen kedua, yaitu Sikap. Sikap lebih tidak kentara daripada tingkah laku. Sikap ada dalam level kognisi masing-masing indvidu atau kelompok. Ketiga, konteks, yaitu latar belakang dan segala faktor yang menyebabkan, mendukung, ataupun dipengaruhi oleh konflik. Ketiga elemen tersebut menjadi pisau analisis untuk memahami suatu peristiwa konflik.
Ada beberapa tipe konflik jika dilihat dari tujuan dan manifestasi (tingkah laku) dari pihak yang berkonflik (lihat tabel 1). Pertama, Konflik Laten. Konflik ini dapat terjadi ketika ada dua individu/ kelompok atau lebih mempunyai perbedaan tujuan tetapi mempunyai tingkah laku atau cara yang sama untuk mencapai tujuan (yang berbeda) tersebut. Konflik ini tidak terlihat secara kasat mata karena memang seakan-akan sejalan. Padahal, tujuan dari masing-masing kelompok berbeda. Meskipun tidak kasat mata, konflik seperti ini sulit untuk didamaikan karena tidak ada titik temunya. Kedua, Konflik Terbuka, terjadi ketika ada tujuan berbeda dan ditempuh dengan tingkah laku yang berbeda. Konflik terjadi secara kasat mata dan biasanya diakhiri dengan menentukan jalan masing-masing tanpa mengganggu tujuan satu dengan lainnya. Ketiga, Konflik permukaan, terjadi ketika ada kesamaan tujuan tetapi ditempuh dengan cara berbeda. Konflik ini mudah untuk ditemukan karena adanya persamaan tujuan.
TUJUAN/TINGKAH LAKU | SEJALAN | TIDAK SEJALAN |
TIDAK SEJALAN | KONFLIK LATEN | KONFLIK TERBUKA |
SEJALAN | TIDAK ADA KONFLIK | KONFLIK DIPERMUKAAN |
Konflik diidentikan dengan kekerasan. Inilah mengapa pemahaman mengenai bentuk kekerasan menjadi penting. Berikut segitiga kekerasan yang menunjukkan beberapa tipe kekerasan (lihat figur 3). Pertama, Kekerasan langsung yang biasanya dapat diketahui oleh semua pihak. Kekerasan langsung menimbulkan kerusakan yang sifatnya fisik, baik individu maupun infrastruktur. Contoh kekerasan langsung antara lain perkelahian, tembak menembak, pengeboman, pembakaran, dll. Kedua, kekerasan budaya. Jenis kekerasan ini tidak kasat mata karena menyentuh aspek afeksi dari individu atau kelompok. Budaya sifatnya tidak manifest karena terdiri dari norms, values, dll. Contoh kekerasan budaya antara lain diskriminasi. Ketiga, kekerasan struktural. Kekerasan ini disebabkan oleh ketidakadilan dalam struktur sosial. Biasanya terkait dengan sistem politik maupun ekonomi. Ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur masuk dalam kategori kekerasan struktural. Kemiskinan menjadi salah satu dampak nyata dari kekerasan ini.
Objektivitas dalam Pemberitaan Konflik
Kesepakatan dalam tulisan ini, objektivitas tidak berhenti hanya pada penyajian fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Ada sebuah nilai yang harus dijunjung tinggi bersama oleh jurnalisme. “The Fourth Estate” menjadi pegangan kuat bagi para profesional untuk selalu berpihak pada kepentingan publik. Demokrasi menjadi hal yang harus diupayakan dalam praktik jurnalisme. Sehingga, nilai-nilai jurnalisme itu sendiri tidak boleh menyakiti apa yang seharusnya dijunjung, yaitu kebaikan untuk bersama.
Sudah banyak disinggung pada sub judul sebelumnya bahwa makna objektivitas merujuk pada spirit untuk mencapai kebenaran. Namun, kebenaran tidak cukup diperoleh dengan menyajikan fakta apa adanya fakta. Perlu ada upaya analisis dan interpretasi untuk mewujudkan perannya sebagai representasi dari masyarakat. Jurnalisme tidak boleh hanya berhenti pada penyajian fakta tetapi juga diikuti dengan tanggung jawab mencerdaskan publiknya dan memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan iklim demokrasi. Dalam konteks ini, kita harus mengingat peran media sebagai sebuah ruang publik. Ruang pertukaran ide yang mampu membentuk sebuah wacana tertentu. Sudah selayaknya media, dalam konteks ini adalah pers, berhati-hati dalam menjalankan perannya.
Tidak terkecuali dalam memberitakan konflik, media harus berhati-hati memahami prinsip objektivitas yang menjadi pusat dari etika jurnalistik. Harus ada pemahaman mendalam mengenai konflik sebagai objek berita. Pemahaman ini mampu menjadi dasar untuk menentukan langkah strategis dalam memberitakan konflik tanpa harus melukai kepentingan publik, yang notabebe adalah hal yang dijunjung tinggi oleh jurnalisme itu sendiri.
Telah dijelaskan pula secara lebih lengkap dalam pembahasan sebelumnya, bahwa konflik adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dalam dinamika kemasyarakatan. Bertolak dari teori konflik, keberadaan konflik mempunyai fungsi tersendiri bagi perubahan masyarakat. Konflik tidak selalu berimbas negatif dan mengarah pada kerugian. Namun, jika mampu diarahkan dengan sedemikian rupa mampu memperbaiki kondisi masyarakat itu sendiri. Terkait dengan Jurnalisme, Lee (2010) memaparkan,
“As people, groups, countries, and groups of countries seem to stand in each other’s way (that is what conflict is about) there is a clear danger of violence. But in conflict there is also a clear opportunity for human progress, using the conflict to find new ways, transforming the conflict creatively so that the opportunities take the upper hand-without violence”
Setidaknya itulah acuan yang menjadikan konflik penting untuk dipahami lebih jauh. Termasuk didalamnya mengenai elemen yang menyusun sebuah konflik, bentuk konflik, dan juga berbagai bentuk kekerasan yang identik dengan konflik. Pemahaman ini menjadi acuan untuk merumuskan objektivitas dalam pemberitaan konflik dengan lebih bijak dan tidak menyakiti kepentingan publik.
Membahas mengenai pemberitaan konflik, tidak dapat dilepaskan dari tokoh bernama Johan Galtung, seorang Aktivis perdamaian yang mengembangan sebuah konsep ‘Peace Journalism’. Johan Galtung (Lynch, 2010) melihat bahwa dalam proses seleksi berita (gatekeeping), ada sesuatu yang berjalan sistematis dan simultan dalam memberitakan konflik. Ada lima kriteria yang selama ini cenderung menjadi ‘panduan’ bagi media. (1)Threshold, dimana cerita besar yang mempunyai efek bagi orang dalam jumlah banyak; (2) Frequency, peristiwa yang memang sudah dijadwalkan oleh media bersangkutan; (3) Negativity, dimana berita buruk mampu menarik lebih banyak perhatian dibandingkan dengan berita baik; (4) Unexpectedness, peristiwa tidak terduga dan mempengaruhi banyak orang; (5) Unambiguity, yaitu sesuatu yang sudah jelas.
Kecenderungan tersebut mendorong lahirnya jurnalisme yang ‘berat’ pada situasi perang. Galtung menyebutnya dengan ‘war journalism’. Praktik jurnalisme ini mempunyai beberapa kecenderungan. Pertama, Violence, dimana konflik merupakan dualistic term, dua kelompok berkompetisi untuk mencapai tujuan tunggal, yaitu kemenangan. Kedua, Elites, dimana narasumber cenderung diambil dari ‘official sources’. Ketiga, Propaganda, kecenderungan untuk mengekspos ketidakbenaran ‘mereka’ dan menolak ‘kita’. Keempat, Kemenangan, media cenderung berhenti memberitakan ketika senjata sudah diletakkan, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pra dan pasca konflik.
Johan Galtung merasakan keresahan terhadap kecenderungan pemberitaan tersebut. Perlu ada alternative perspective yang berpihak pada ‘perdamaian’, ‘Peace Journalism’. Beberapa ciri dari peace journalism antara lain, pertama, Conflict or peace oriented, mencoba untuk melewati batas waktu dan ruang untuk menyajikan kronologi peristiwa, bukan hanya dua kelompok yang bertikai tetapi juga aktor lain yang mungkin terlibat, untuk memberikan atau merekomendasikan berbagai alternatif tujuan dan kemungkinan intervensi. Kedua, People oriented, mempertimbangkan isu konflik dari sudut pandang berbeda, seperti suara akar rumput. Ketiga, Truth oriented, menghindari mengekspos pengumuman salah satu pihak saja tetapi juga mengakomodasi semua sisi. Keempat, Solution oriented, menyiapkan atau mencari solusi yang mungkin dapat ditempuh.
Melengkapi perspektif Galtung, Lee (2010) memaparkan,
By taking the advocacy, interpretive approach, the peace journalist concentrates on stories that highlight peace initiatives, tone down ethnic and religious differences; prevent further conflict; focus on the structure of society; and promote conflict resolution, reconstruction, and reconciliation
Berikut ini perbedaan antara war journalism dan peace journalism yang dikembangkan oleh Johan Galtung (dalam Lee, 2010)
Tabel 2
Perbedaan Peace Jouranalism dan War Journalism
No | War Journalism Approach | Peace Journalism Approach |
1 | Reactive | Proactive |
2 | Reports mainly on visible effects of war | Report on the invisible effect of war |
3 | Elite oriented | People oriented |
4 | Focused mainly on differences that led the conflict | Reports the area of agrrement that moght led to asolution to the conflict |
5 | Focused mainly on the here and now | Report causes and consequences of the conflict |
6 | Dichotomizes between the good guys and bad guys, the victims and villains | Avoid labeling of good guys and bad guys |
7 | Two-party oriented | Multiparty oriented |
8 | Partisan | Non partisan (neutral) |
9 | Zero-sum orientation | Win-win orientation |
10 | Stops reporting with the peace treaty signing and ceasefire, and heads for another war elsewhere | Stays on reports aftermath of war |
Language | ||
11 | Uses victimizing language | Avoids victimizing language |
12 | Uses demonizing language | Avoids demonizing language |
13 | Uses emotive words | Objective and moderate |
Peace Journalism merupakan salah satu konsep yang mencerahkan bagi pemberitaan konflik, dimana media diarahkan bukan sebagai ‘provokasi’ konflik tetapi lebih berperan sebagai seorang ‘pejuang’ perdamaian. Dalam perkembangannya, konsep ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan jurnalis profesional. Pendapat yang banyak menyeruak mengenai konsep ini adalah, ketika pers menjalankan fungsinya sebagai pejuang perdamaian, pers tidak lagi independen. Pers sudah berpihak pada ‘perdamaian’. Inilah yang kemudian mendorong lahirnya konsep ‘Conflict Sensitive Journalism’ (CSJ). Pada wawancara langsung dengan Marlon (2011), seorang aktivis CSJ dari Pecojon (The Peace and Conflict Journalism Network) mengatakan bahwa ‘CSJ’ is about journalism but Peace Journalism is about peace’. Dalam pengertian lebih jauh dapat dikatakan bahwa konsep peace journalism mengarah pada fungsi advokasi dan meninggalkan fungsi jurnalisme itu sendiri. Selain itu, peace journalism juga menekankan pada peristiwa perang, bukan konflik secara lebih luas. Namun, yang perlu dicatat dari sini adalah, tidak perlu memperdebatkan antara peace journalism dengan CSJ. Keduanya sama-sama ingin memperbaiki kondisi jurnalisme yang saat ini cenderung ‘bersenang-senang’ diatas peperangan.
Pecojon (2011) mengembangkan 19 elemen yang dapat membedakan antara jurnalisme berorientasi konflik dan jurnalisme sensitif konflik. Elemen ini juga berbasis pada pemikiran Johan Galtung, Jake Lynch, Annabel McGodrick, Antonio Koop dan berbagai hasil riset di beberapa negara seperti Filipina, Indonesia, Timor Timur, Kamboja, dan Jerman. Berikut perbedaannya.
Tabel 4.
Perbedaan Jurnalisme Berorientasi Konflik dan Jurnalisme Sensitif Konflik
No | Elemen Inti | Jurnalisme Konflik | Jurnalisme Sensitif Konflik |
1 | Peran Jurnalis | Sebagai Bisnis | Jalur komunikasi dalam masyarakat |
2 | Bentuk Konflik | 2 pihak saja | Multi-pihak |
3 | Framing dan Konteks | Orientasi kejadian | Orientasi proses |
4 | Strategi menghadapi kerumitan | Menyederhanakan | Menjelajah kompleksitas/menjelaska |
5 | Tujuan Pelaporan atau pelayanan kepada pembaca | Sebagai hiburan | Untuk memberikan pemahaman |
6 | Strategi melaporkan kekerasan | Hanya kekerasan langsung saja | Mempertimbangkan kekerasan budaya dan structural, bukan hanya kekerasan langsung |
7 | Analisa tujuan dan motivasi para pihak yang terlibat dalam konflik | Fokus pada posisi yang diinginkan | Mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan yang menjadi basis dari masing-masing kelompok |
8 | Jurnalis dan kaca mata pembaca | Menyalahkan | Konflik sebagai tantangan bersama |
9 | Strategi menghadapi propaganda | Reseptor propaganda | Tahan terhadap propaganda |
10 | Strategi menghadapi perang | Membenarkan perang | Menunjukkan dampak perang dengan akurat |
11 | identifikasi sumber dan pelaku dalam berita | Orientasi pada elit | Orientasi pada masyarakat |
12 | Nilai Berita | Hiburan | Relevansi |
13 | Strategi melaporkan korban dari kekerasan langsung | Fokus pada korban kekerasan langsung saja | Mepertimbangkan korban konflik secara keseluruhan |
14 | menghadapi upaya provokasi menghadapi jurnalisme | Memprovokasi dengan menyalahkan, kritis terhadap orang tertentu | Tidak menyalahkan individu, menunjukkan masalah, mengeksplorasi kekerasan structural, kondisi dll |
15 | Penggunaan bahasa | Stereotype, generalisasi, label | Khusus, netral |
16 | Menciptakan keseimbangan | Keseimbangan kuantitatif | Keseimbangan kualitatif |
17 | orientasi reaksi emosional dari pembaca | Emosi | Empati |
18 | dampak laporan terhadap pembaca | Ketidakberdayaan | Pemberdayaan |
19 | Anggapan jurnalis terhadap pembaca dan pemirsa.
|
Pembaca pasif | Pembaca aktif |
Sumber : Pecojon (2011)
Pemaparan tersebut lebih mengarah pada aspek teknis bagaimana seharusnya seorang reporter dalam memberitakan konflik. Pertama, harus ada pemahaman bahwa pers berperan melayani masyarakat. Kedua, dalam pencarian informasi, seorang jurnalis tidak boleh terjebak dalam pemahaman hitam putih ataupun dua pihak saja. Perlu ada kreatifitas untuk menangkap aktor-aktor lain yang mungkin terlibat dalam konflik tersebut. Jurnalis juga harus peka terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang mungkin terjadi. Dalam konteks ini, segitiga kekerasan dapat membantu untuk memetakan bentuk kekerasan tersebut. Apakah hanya kekerasan langsung atau ada kekerasan budaya ataupun struktural yang terjadi. Selain itu, kepekaan terhadap kepentingan masing-masing pihak juga penting untuk menangkap kesamaan ataupun perbedaaannya. Kedua hal tersebut harus mampu dilaporkan secara proporsional.
Ketiga, dalam pelaporan sebaiknya tidak menyederhanakan masalah. Jika keadaan memang kompleks harus dilaporkan demikian adanya. Jika disederhanakan akan dapat menimbulkan bias pemahaman dalam masyarakat. Penyajiannya juga harus menghindari penggunaan bahasa yang hiperbolis. Netral menjadi pilihan bahasa yang harus diupayakan sedemikian rupa. Sehingga, pemberitaan tersebut tidak menimbulkan ketidakberdayaan masyakarat dalam menghadapi konflik tetapi justru menimbulkan semangat untuk bersama menyelesaikannya. Dalam titik ini, terlihat jelas perbedaan antara peace journalism dengan CSJ, dimana perdamaian bukanlah tujuan akhir dari CSJ, melainkan clear information to make the audiences understand about the problems.
Inilah pemahaman objektivitas yang penulis sampaikan terkait dengan berita konflik. Perlu ada pemahaman yang mendalam mengenai konflik itu sendiri untuk dapat meletakkan prinsip objektivitas dengan tepat. Praktik jurnalisme perang dapat dikatakan objektif dalam makna ‘konvensional’. Mereka memberitakan apa yang sesungguhnya terjadi. Tetapi ada perbedaan frame yang diberikan antara ‘war journalism’ dengan ‘peace journalism’ ataupun ‘conflict sensitive journalism’. Hal yang menjadi pertimbangan utama adalah kebaikan bersama, public interest. Bukan kepentingan golongan ataupun kelompok tertentu, bahkan bukan pula kepentingan media itu sendiri. Menjunjung nilai-nilai jurnalisme dengan benar adalah kunci untuk melahirkan pemberitaan yang berkualitas.
Penutup
Objektivitas tidak dapat diterima begitu saja dengan mempresentasikan fakta apa adanya fakta. Perlu ada pemahaman mengenai konteks dan esensi dari jurnalisme itu sendiri. Terkhusus dalam pemberitaan konflik, jurnalis tidak bisa serta merta memberitakannya dengan ‘telanjang’. Perlu ada interpretasi dan analisis yang tajam agar tidak memperkeruh keadaan. Conflict sensitive journalism menjadi salah satu strategi untuk melahirkan jurnalisme berkualitas. Terlebih dalam konteks Indonesia yang rawan terjadi konflik. Media tidak boleh sembarang mengambil posisi. Jika kebenaran informasi diragukan maka akan dapat mengancam ketahanan nasional. Taat pada asas jurnalisme menjadi keharusan untuk menghindari konflik yang lebih hebat. Jikalau itu terjadi, minimal bukan media yang menjadi biang keladinya.
Referensi
Berry, David. (2008). Journalism, Ethics and Society. England : Ashgate Publishing Limited.
Hampton, Mark. (2010). The Fourth Estate Ideal in Journalism History dalam Stuart Allan (ed). The Routledge Companion to News and Journalism. New York : Routledge. Hal. 3-12.
Jacquette, Dale. (2010). Journalism Ethics as Truth-Telling in the Public Interest dalam Stuart Allan (ed). The Routledge Companion to News and Journalism. New York : Routledge. Hal. 213-222.
Kaplan, Richard. (2010). The Origins of Objectivity in American Journalism dalam Stuart Allan (ed). The Routledge Companion to News and Journalism.New York : Routledge. Hal. 25-37.
Lee, Seow Ting Lee. (2010). Peace Journalism dalam Lee Wilkins dan Clifford G. Christian (Ed). The Hand Book of Mass Media Ethics. New York : Routledge. Hal.258-275.
Lynch, Jake. (2010). Peace Journalism dalam Stuart Allan (ed). The Routledge Companion to News and Journalism.New York : Routledge. Hal. 542-554.
McKee, Alan. (2005). The Public Sphere : An Introduction. Cambridge : Cambridge University Press.
Ritzer, George; Goodman, Douglas J. (2003). Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
McQuail,Denis. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory. London : Sage Publications.
Ward, Stephen J.A. (2009). Truth and Objectivity dalam Lee Wilkins dan Clifford G. Christian (Ed). The Hand Book of Mass Media Ethics. New York : Routledge. Hal. 71-83
Modul Pelatihan Pecojon Indonesia (2011)
Komodifikasi Audiens dalam Situs Citizen journalism
Author: Lisa Lindawati
PENDAHULUAN
Perkembangan new media membawa tantangan tersendiri bagi studi audiens. Konsep audiens yang selama ini dipahami secara umum sebagai penerima pesan media (receiver) hampir tidak berlaku lagi. Interaktivitas yang ditawarkan oleh media baru memungkinkan receiver berubah menjadi sender, dan begitu juga sebaliknya, sender menjadi receiver. Media yang dalam konsep lama dipahami sebagai produsen pesan (sender) tidak lagi mempunyai monopoli atas informasi. Perubahan ini menggoyahkan dikotomi antara media dan audiens. William Merrin (2009) bahkan mewacanakan pentingnya melahirkan media studies 2.0 sebagai pengganti media studies 1.0 (konvensional), terutama dalam melihat konsep audiens terkait kedudukannya terhadap media.
Salah satu fenomena yang dapat membantu menjelaskan relasi antara media dan audiens adalah citizen journalism, yang semakin lama semakin berkembang. Fenomena ini selain memberi tantangan bagi konsep audiens, juga memberi tantangan bagi studi jurnalisme itu sendiri. Hal ini membuat fenomena citizen journalism semakin menarik, untuk melihat kecenderungan baru mengenai jurnalisme, terutama terkait relasi antara media dan audiens. Lebih spesifik lagi adalah situs citizen journalism yang berafiliasi dengan media mainstream yang notabene dianggap ‘bermusuhan’ dengan citizen journalism, seperti kompasiana.com, citizen6.liputan6.com, maupun kolomkita.detik.com.
Paradoks ini menarik untuk dilihat dari kacamata ekonomi politik. Dalam konteks ini, penulis tidak sekedar memahami audiens dalam dikotomi antara sender dan receiver, tetapi lebih menekankan relasi dengan media. Meningkatnya peran aktif audiens dalam memproduksi pesan, dianggap menjadi sebuah ‘kejayaan’ bagi audiens. Namun, korporasi media seperti tidak ingin tinggal diam dengan ‘bahaya’ yang dibawa oleh citizen journalism. Alih-alih memusuhinya, media mainstream mencoba peruntungannya dengan menggandeng para citizen journalist. Disinilah peluang komodifikasi audiens muncul sebagai strategi bertahan hidup. Audiens yang berperan aktif dalam produksi pesan menjadikannya mempunyai peran ganda yang menguntungkan bagi pemilik media.
CITIZEN JOURNALISM DALAM NEW MEDIA
Internet membawa cara baru dalam mengumpulkan dan melaporkan informasi ke dalam newsroom. Dalam lingkungan new media, pembaca mempunyai peran penting dalam melakukan pertukaran dengan jurnalis. Demistifikasi dari jurnalisme ini meruntuhkan sekat antara audiens dan produser yang kemudian mengubah nilai dan norma yang melekat pada ‘berita’. Hal ini mendorong perlunya pemahaman baru mengenai jurnalisme itu sendiri (Fenton, 2010). Salah satu implikasi yang kentara dari perubahan paradigma tersebut adalah lahirnya citizen journalism.
Ide besar dibalik keberadaan citizen journalism adalah, orang tanpa pendidikan formal mengenai jurnalisme, dapat menggunakan teknologi modern terutama perkembangan internet untuk memproduksi pesan, fact check secara mandiri atau bersama-sama (sharing) dengan yang lain. Namun, pengertian dari citizen journalism belum tunggal. Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah jurnalisme hanya ditujukan bagi aktivitas profesional. Sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh non-profesional dianggap bukan bagian dari jurnalisme. Hal ini disebabkan aktivitas jurnalistik mempunyai nilai dan etika yang hanya dipahami oleh jurnalis profesional. Namun, pendapat berbeda juga menyeruak. Tujuan utama dari jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga dapat menjadi bebas dan dapat mengatur dirinya sendiri (Bowman and Willis, 2003). Sedangkan ide yang mendasari lahirnya citizen journalism adalah berkurangnya monopoli informasi dan pengetahuan yang selama ini ada di tangan para profesional (Glaser dalam Allan, 2010 : 578).
Menurut Jay Rosen (2006 dalam Bruns), citizen journalism digerakkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal sebagai audiens. Mereka mempunyai akses dalam mengkreasi dan menyebarkan pesan tanpa bergantung pada teknologi yang selama ini ‘dikuasai’ oleh organisasi media mainstream. Perbedaan antara citizen journalism dan professional journalism menurut Bowman and Willis (2003) adalah jika citizen journalism mendorong partisipasi aktif, organisasi media justru memperkuat kontrol melalui kemampuannya membentuk agenda (agenda setting), memilih partisipan, dan moderasi komunikasi.
Bowman & Willis (2003 dikutip oleh Jack) mendefinisikan citizen journalism sebagai sebuah keadaan dimana citizen mempunyai peran aktif dalam mengumpulkan, melaporkan, menganalisis dan mendistribusikan berita dan informasi. Lebih lanjut, Jack membedakan citizen journalism dan participatory journalism, dimana pada participatory journalism, citizen hanya mempunyai peran dalam memberikan feedback ataupun komentar. Sedangkan berita maupun informasi disediakan oleh media (jurnalis profesional). Namun, hal ini berbeda dengan Bowman dan Willis (2003) yang mengindentikkan citizen journalism dengan participatory journalism.
Bowman and Willis (2003) menjelaskan karakter participatory journalism dibanding dengan organisasi media konvensional. Media konvensional dibentuk dalam organisasi yang hierarkis, yang dibangun untuk kepentingan komersial. Mereka memberlakukan proses editing yang ketat, integritas, dan menguntungkan. Sedangkan participatory journalism dibangun dalam jaringan komunitas yang mengandalkan komunikasi, kolaborasi, kesetaraan, yang melebihi keuntungan ekonomi.
Beberapa istilah lain muncul yang pengertiannya merujuk/hampir sama dengan citizen journalism : grassroot journalism, networked journalism, open source journalism, citizen media, participatory journalism, hyperlocal journalism, bottom up journalism, stand-alone journalism, distributed journalism (Glaser dalam Allan, 2010). Couldry (dalam Fenton, 2010) menyebut citizen journalism dengan writer gatherers, yaitu “anyone who post even one story or photo on a mainstream news site – source actor”
Ada banyak ilmuwan yang optimis dengan keberadaan citizen journalism. Namun, ada pula yang menyangsikan keberadaannya. Hal ini terkait dengan kelemahan-kelemahan yang ada dalam praktik citizen journalism, disamping dengan perdebatan konseptual yang telah disinggung sebelumnya. Ada beberapa perbedaan mendasar antara citizen journalism dan industrial journalism (Bruns). Pertama, partisipan dalam citizen journalism hanya berlaku acak (menurut JD Lasica disebut ‘random acts of journalism’) yaitu berkontribusi mengirimkan berita dan komentar hanya kadang-kadang dan mengenai topik tertentu saja, alih-alih berusaha untuk melaporan secara komprehensif. Kedua, model cakupannya hanya fokus pada opini, komentar, dan evaluasi terhadap peristiwa tertentu, alih-alih melakukan reportase secara langsung. Ketiga, partisipan dalam citizen journalism bertindak, dalam istilah Bruns, sebagai Gatewatching, dimana ada batasan reportase yang mereka lakukan terhadap sumber berita yang sulit. Hal ini membuat perannya hanya sebatas penyedia basis informasi bagi organisasi media profesional yang kemudian melakukan investigasi lebih dalam. Inilah karakter yang membedakan dengan media profesional yang bertindak sebagai gatekeeping, yaitu sebagai penjaga informasi. Namun, terkait dengan peran media sebagai gatekeeping juga sudah tidak relevan lagi. Saat ini, kita memasuki era multichannel dimana pembatasan informasi hampir sudah tidak mungkin lagi (Bruns).
Perkembangan Citizen Journalism di Indonesia
Melacak perkembangan citizen journalism di Indonesia belumlah menjadi perkara mudah karena minimnya rujukan komprehensif mengenai hal ini. Namun, paling tidak perkembangan citizen journalism dapat dipetakan ke dalam dua tahapan. Pertama, citizen journalism yang berkembang pada media konvensional, baik media cetak maupun media penyiaran seperti radio dan televisi. Kedua, perkembangan citizen journalism yang berkembang seiring dengan perkembangan new media.
New media disebut-sebut sebagai penyubur citizen journalism. Namun, keberadaannya bukanlah pelopor keberadaan fenomena yang sering juga disebut jurnalisme warga ini. New media dapat diibaratkan sebagai pupuk yang ditaburkan pada tunas tanaman yang sudah mulai mekar. Pola ini yang terjadi di Indonesia. Penulis memang belum menemukan data rigid. Namun, hal ini dapat dilacak dari sejarah kebebasan informasi di Indonesia. Keberadaan citizen journalism muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap media mainstream. Keterbatasan kebebasan pers pada masa orde baru mendorong perkembangan media berbasis masyarakat, terutama melalui radio dan media cetak underground yang membantu penyebaran informasi alternatif. Salah satu media yang masih mengembangkan citizen journalism model ini adalah Radio ElShinta, yang menggaet lebih dari 100 ribu orang untuk menjadi kontributornya (Ismayanti; Kurniawan, 2007). Selain itu, media televisi juga mulai memanfaatkan para citizen journalist untuk mendapatkan informasi yang tidak terjangkau oleh jurnalis mereka. Inilah salah satu paradoks yang menjadi poin menarik dalam tulisan ini.
Tunas-tunas keterlibatan warga dalam diseminasi informasi yang tidak tercover oleh media mainstream semakin subur dengan kehadiran new media. Loncatan yang paling kentara adalah pada proses reformasi, dimana perkembangan internet dapat dikatakan menjadi salah satu senjata ampuh untuk menjebol gawang pertahanan orde baru. David T. Hill dan Krishna Sen (2005) menyebutnya ’the first revolution using the internet’.
Internet pada awal kemunculannya di Indonesia banyak dimanfaatkan oleh NGO. Mereka menggunakan media baru ini sebagai media alternatif untuk menyuarakan aspirasi yang tidak mungkin disebarkan melalui media konvensional. Pada saat media konvensional berada di bawah pengawasan dan sensor pemerintah, internet menjadi ruang kebebasan. New media menjadi media yang bebas dari kontrol dan sensor pemerintah. Melalui media inilah berbagai aspirasi dan kekecewaan dapat ditampung dan disebarkan secara luas, tanpa ada ketakutan dibungkam atau ditangkap oleh pemerintah (Hill dan Sen, 2004).
Salah satu bentuk media yang fenomenal dalam internet pada awal gerakan reformasi adalah ‘APA KABAR’, yang dimoderasi oleh seorang asal Maryland Mc Dougall. Media ini menjadi sumber informasi alternatif yang tidak mungkin dimuat dalam media konvensional. Konten utama dalam media ini adalah ’a mix of hard news’ dari media konvensional di Indonesia dan dunia, dengan berbagai komentar, opini dan political gossip’. Selain itu, melalui ‘APA KABAR’, masyarakat juga dapat menyampaikan aspirasinya dan saling bertukar pendapat. ‘APA KABAR’ beredar dalam berbagai bentuk, original and relay mailing list, local newspapers and list, bulletin boards, individual subcribers, groups sharing a single email address, dan berbagai website. Penulis menganggap ini adalah salah satu cikal bakal citizen journalism di Indonesia, dalam berbagai pengertian yang luas. Selain APA KABAR, website yang disebut-sebut sebagai awal perkembangan citizen journalism adalah rumahkiri.net (2005), wikimu.com (2006), kabarindonesia.com (2006), kilasan.com (2006), yang bermunculan beberapa tahun kemudian.
Wijayana, seorang Dosen Ilmu Komunikasi ISIP UNDIP, melakukan penelitian mengenai perkembangan citizen journalism. Dalam hasil penelitian tersebut, perkembangan citizen journalism di Indonesia dapat dipetakan menjadi enam kategori. Pertama, citizen journalism murni, yaitu website yang memang mendeklarasikan dirinya sebagai ruang partisipasi warga, contoh : kabarindonesia.com. Kedua, Portal Citizen Journalism yang berinduk pada website jurnalis atau media professional, contoh : inilah.com. Ketiga, Mainstream’s citizen journalism yaitu ruang yang sengaja disediakan oleh media mainstream. Contoh : kompasiana.com. Yang baru muncul (tambahan penulis) terkait model ini adalah citizen6 milik liputan6.com dan KOKI milik detik.com. Keempat, Portal Comment, yaitu portal yang dikelola oleh jurnalis profesional dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkomentar. Ini salah satu bentuk paling populer. Sebagian website yang berkembang di Indonesia masuk dalam kategori ini. Contoh : okezone.com, vivanews.com. Kelima, Portal forum, yang menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berbagi informasi dan saling memberikan komentar. Contoh paling populer adalah kaskus.us. Keenam, Mainstream portal comment yaitu media mainstream yang memberikan ruang komentar bagi para penggunanya. Contoh : liputan.com.
Era reformasi dibarengi dengan pertumbuhan jaringan internet yang semakin cepat menjadi paduan dramatis ibarat minyak dan pelita kecil. Bukan lagi hanya sekedar pupuk perlahan menyuburkan tunas yang mulai mekar. Namun, sebuah sulutan yang membakar kemampuan masyarakat untuk bertukar informasi secara cepat, mudah, dan terbebas dari segala tekanan. Citizen journalism berkembang seperti jamur dalam berbagai bentuk. Blog, jejaring sosial, personal website, open comment yang dilayani media tertentu, hingga web yang menggantungkan kontribusi konten dari para penggunanya (user-generated content web). Hal ini menunjukkan bahwa citizen journalism di Indonesia berpotensi untuk lebih berkembang lagi. Sebagai sebuah ruang bagi masyarakat untuk mengakselerasi pertukaran informasi guna meningkatkan kualitas kehidupan. Masyarakat tidak lagi perlu bergantung pada media mainstream sebagai pemilik informasi. Namun, jika tidak berhati-hati tidak menutup kemungkinan bahwa ketergantungan tersebut muncul kembali dalam bentuk baru. Keberadaan media mainstream yang menyediakan ruang bagi citizen journalism sudah selayaknya mendapat ruang kajian lebih lanjut. Sebagai upaya menjaga semangat yang diusung oleh citizen journalism, ‘freedom of information’.
NEW MEDIA AUDIENCES
Kemunculan konsep audiens sangat terkait erat dengan perkembangan komunikasi massa, dimana media (komunikasi massa) tersebut melahirkan ‘mass audiences’ (Mosco and Kaye, 2000: 33 dikutip oleh Napoli, 2008). Kehadiran new media dianggap ‘mengancam’ eksistensi dari media massa, yang implikasinya berpengaruh pada eksistensi audiens. “Without a mass medium there is no single, collective, audience – only chance similiarities of patterns of media use” (McQuail, 1997). Kehadiran new media secara signifikan membawa perubahan pola produksi, distribusi, maupun konsumsi pesan. Akibat lain yang dimunculkan oleh new media terhadap media massa adalah berkurangnya peran institutional communicator dalam kontrol informasi. Napoli (2008) menyebutnya dengan ‘de-institutionalization of mass communication’ (Napoli, 2008).
Perubahan-perubahan yang terjadi sejak kemunculan media baru, membawa perubahan pada relasi antara media dengan audiens. Pada awalnya, relasi antara media dengan audiens adalah relasi antara sender dan receiver. Media berperan sebagai produsen yang mentransmisikan pesan kepada audiens. Dalam konteks ini, audiens bersifat pasif menerima pesan yang dikirimkan oleh media. Terkait dengan kategori yang diberikan oleh McQuail (1997), audiens berperan sebagai target. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan teknologi yang tidak memungkinkan adanya komunikasi langsung antara sender dan receiver. Komunikasi hanya berjalan satu arah saja. Namun, perkembangan teknologi mampu mengalahkan keterbatasan tersebut. Pada era digital, beriring perkembangan computer based system, bentuk media interaktif mulai berkembang. Hal ini memungkinkan audiens mempunyai kesempatan memberikan feedback kepada sender (media). Audiens berperan bukan sekedar menjadi target tetapi juga partisipan. Bahkan, saat ini, peran audiens sebagai partisipan semakin menguat. Kehadiran new media memungkinkan setiap orang menjadi produsen pesan yang dapat disebarkan dalam skala luas (McQuail,1997).
McQuail menyampaikan empat perubahan penting yang mempengaruhi audiens. Pertama, perkembangan teknologi satelit memungkinkan transmisi pesan yang lebih luas dan lebih beragam. Kedua, perkembangan teknologi rekaman menggeser time control dari media kepada audiens. Ketiga, transnasionalization of television melahirkan worldwide audiences. Keempat, interaktivitas yang ditawarkan oleh computer based system memungkinkan pengguna media melakukan kontrol terhadap lingkungan informasi. Teknologi ini dianggap mampu menyeimbangkan peran receiver dan sender dalam kontrol pesan.
Ada tiga komponen penting yang mendorong evolusi audiens terjadi (Philip M. Napoli, 2008). Pertama, transformasi dinamika konsumsi media. Meningkatnya fragmentasi dalam lingkungan media meningkatkan otonomi audiens dalam berinteraksi dengan media. Kedua, perubahan sistem informasi audiens (audience information systems) yang merujuk pada mekanisme perolehan informasi yang mempengaruhi perilaku audiens. Ketiga, Resistensi dan Negosiasi Stakeholder dalam merespon perubahan audiens. Dalam hal ini, ada upaya dari para pihak berkepentingan untuk memanfaatkan kecenderungan audiens new media sebagai ‘alat’ meningkatkan keuntungan. Hal ini memperkuat pandangan audiences as a market.
Berikut ini beberapa bentuk relasi antara media dengan audiens dalam era new media (McQuail, 1997). Pertama, Allocution adalah bentuk relasi seperti pada traditional media, dimana kontrol ada di tangan sender. Model ini mempunyai karakter terbatasnya kemungkinan ‘feedback’ dan komunikasi antara sender-receiver (one-way communication). Kedua, Consultation, individu mempunyai kesempatan untuk memilih pesan yang sesuai dengan kepentingan dan kenyamanan. Hanya saja, pilihan tersebut terbatas pada pilihan yang disediakan oleh sender. Ketiga, Conversation, dapat terjadi pada computer based interactive system, dimana peran sender-receiver sulit untuk dibedakan. Model ini memungkinkan keterlibatan dan ‘feedback’ dalam skala yang luas. Dalam pengertian ini, McQuail mengatakan “these are not really audiences, but they are sets of media users” (1997 : 39). Model ini merupakan model yang paling tepat untuk menggambarkan kecenderungan terkini. Keempat, Registration, individu mempunyai kontrol dalam information storage, namun tetap ada di bawah pengawasan dan kontrol dari sender. Model ini memungkinan membentuk private audiences dan private exchange dalam akses informasi.
Perkembangan tersebut membuat relasi antara media dan audiens tidak hanya sekedar sender–receiver. “Mass communication is now a much more egalitarian process, in which the masses can now communicate to the masses” (Fonio, et al., 2007 dikutip oleh Napoli, 2008). Bentuk komunikasi conversation mendominasi dalam new media.
RELASI MEDIA-AUDIENS DALAM CITIZEN JOURNALISM
Audiences as Market
Perkembangan konsep audiens akibat dari perkembangan media membawa beberapa konsekuensi menarik. Telah banyak disinggung sebelumnya, audiens tidak bisa lagi dipahami sebagai receiver, tetapi lebih pada perannya sebagai partisipan. Namun, kecenderungan ini dilihat oleh penulis tidak sepenuhnya berdampak positif pada audiens. Derajat interaktivitas yang lebih tinggi dalam media baru dianggap mempunyai peluang menyeimbangkan kekuasaan audiens dengan media, yang selama ini berperan sebagai pengontrol. Partisipasi aktif dari audiens dianggap sebagai ‘kejayaan’ baru bagi individu-individu yang selama ini hanya bertindak sebagai audiens pasif saja. Hanya saja, ada beberapa hal lain yang membuat optimisme itu menjadi kabur.
Keberadaan new media mengaburkan dikotomi antara media dan audiensnya. “Web sites began challenging the traditional media paradigm by letting readers become writers.” (Bentley, 2008). Pada era new media, dimana citizen journalism berkembang, audiens pasif berubah menjadi audiens yang aktif dalam proses produksi dan diseminasi pesan. Bruns menyatakan bahwa populernya citizen journalism menunjukkan adanya perubahan paradigma mengenai relasi antara organisasi media dan audiensnya. Bruns mengembangkan intilah Pro-Am (Professional-Amateur), Alvin Toffler menyebut fenomena ini dengan ‘prosumer’ (1980 dalam Jack) dimana audiens secara bersamaan menjadi produsen sekaligus konsumen dari konten media. Hal ini senada dengan yang dikatakan Bruns. Sebagai medium yang bersifat bottom up, Bruns menganggap bahwa partisipan dalam citizen journalism berperan sebagai produser sekaligus konsumen dalam waktu yang sama. Sedangkan Thompson (2006 dikutip oleh Jack) menjelaskan, “The audience will no longer be a traditional audience, but instead, “participants and partners”.
Berdasarkan survey (Bruns, 2005 dalam Jack) yang dilakukan terhadap produser dalam tiga situs citizen journalism dapat dipahami bahwa ada beberapa motivasi yang mendorong mereka aktif berpartisipasi. Sebagian besar menyatakan bahwa termotivasi oleh keinginan untuk berperan aktif dalam penyebaran informasi. Sebagian yang lain termotivasi oleh keinginan untuk terlibat dalam proses kreatif dan berbagi dengan audiens yang lebih luas. Selain itu, motivasi pada income yang dapat diperoleh dari media-media yang berkepentingan. Lebih lanjut, Jack mencoba untuk menelusuri motivasi dan kepuasan yang dirasakan oleh para citizen journalist yang aktif memproduksi pesan. Dalam penelitian tersebut, Jack menjelaskan bahwa dengan adanya perubahan hubungan dari top down menjadi two ways conversation membuat audiens merasa dapat mengambil kembali tempat mereka dalam sirkulasi informasi. Namun, optimisme ini sepertinya perlu ditinjau kembali.
Napoli (2008) dalam artikel berjudul Revisiting Mass Communivation and The “Work” of the Audience in the New media Environment, mengkaitkan perkembangan audiens pada era new media yang sebenarnya tidak terlepas dari kepentingan bisnis para pemilik media. Napoli (2008) memberikan istilah ‘prosumers’ and ‘produsage’ untuk menunjukkan keaktifan audiens dalam memproduksi pesan. Dalam jurnalnya, Napoli (2008) berpendapat bahwa pesan tersebut adalah bagian dari komoditas.
Model ‘user generated content’ misalnya, dimana audiens diberi kebebasan untuk memproduksi informasi di dalamnya, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menarik para pengiklan yang mengincar para konsumen online. “The audience engaging in ‘watching as working’ merits extension in an environment of interactive media and user-generated content” (Philip M. Napoli, 2008). Selain itu, para marketer mempunyai kepentingan memanfaatkan network yang terbentuk di dalamnya untuk mempromosikan produk secara gratis, salah satunya dengan mengandalkan teknik ‘word of mouth’. Dalam artikelnya, Napoli menyatakan bahwa saat ini audiens tidak hanya sekedar menonton tetapi juga ‘bekerja’. Dallas Smythe (1977 dikembangkan oleh Napoli 2008) dalam tulisannya memaparkan, “they work to create the demand for advertised goods which is the purpose of the monopoly capitalist advertisers”.
Pandangan tersebut didasari paling tidak oleh dua alasan berikut. Pertama, lingkungan new media memberdayakan audiens untuk berperan sebagai receiver sekaligus sender dalam komunikasi massa, dimana kerja kreatif dari audiens tersebut mempunyai nilai ekonomi yang dapat dijadikan sumber penghasilan bagi organisasi media. Kedua, bukan hanya peran audiens sebagai kontributor pesan media yang dapat menghasilkan keuntungan, tetapi juga ‘kerelaan’ dari audiens untuk berkeja sebagai freelance marketer yang mendukung kinerja penyedia konten. Teknik ‘word of mouth’ alias ‘getok tular’ menjadi salah satu strategi yang jitu dalam pemasaran masa kini. Dalam hal ini, audiens berperan sebagai ’wageless labour’. Perkembangan terknologi tersebut bertemu dengan faktor penyebab kedua, social and economic forces. Kapitalisme global menguatkan asumsi audiences as market.
Citizen journalism vs Professional Journalism
Perkembangan citizen journalism menggoyahkan bisnis media. Hal ini disampaikan oleh Yelvington (dalam James, 2007) bahwa internet telah mengubah media landscape dimana setiap orang berkesempatan untuk mempublikasikan apapun dengan murah dan efektif, tanpa memerlukan investasi modal ataupun operasional yang rumit. Hal ini membawa traditional journalism, terutama dalam segi ekonomi, mengalami chaos.
Disisi yang lain, seperti kebanyakan media berbasis internet, citizen journalism masih berjuang untuk menemukan model ekonomi yang sesuai. Sebagai bagian dari sebuah budaya, dimana dalam visinya adalah memberikan informasi secara gratis kepada masyarakat, tidak kemudian serta merta mampu menarik minat pengiklan yang dapat dijadikan sebagai sumber finansial. Websites yang berisi sharing permasalahan sebuah komunitas tertentu memberikan ruang sempit bagi pengiklan dibandingkan dengan situs-situs yang berinduk pada media mainstream tertentu. Selain itu, para pejuang citizen journalism pada awalnya juga bergerak sebagai alternatif dari media-media mainstream sehingga mengandalkan pada ‘kesukarelaan’ daripada penghasilan dari para pengguna ataupun partisipannya (Bentley, 2008).
Organisasi media menyadari bahwa mereka perlu untuk memperat hubungan dengan audiensnya, dimana audiens siap dengan perubahan peran. Bentuk relasi yang baru antara media dan audiens dilihat oleh Jack berpotensi untuk membentuk atmosfer konten jurnalisme yang lebih baik, dimana kedua belah pihak akan mendapat posisi yang sama-sama menguntungkan.
Selain itu, kesempatan yang dimiliki oleh media mainstream adalah merangkul participative media untuk bekerjasama, bukan hanya sekedar dalam hubungan adversary relationships. Ketika media membantu masyarakat berpartisipasi dalam komunikasi mengenai isu-isu publik maka akan membentuk sebuah social capital, yang nantinya akan berpengaruh dalam bidang sosial, politik, maupun bisnis, terutama bisnis media itu sendiri (Yelvington dalam James, 2007).
Ada berbagai bentuk media baru dalam menanggapi tantangan citizen journalism. Salah satunya adalah ‘umbrella model’. Alih-alih berusaha menyangingi keberadaan citizen journalism, media ini justru menggunakan konten yang ada dalam citizen journalism untuk memperbarui atau menata ulang kembali produknya. Keberadaan media seperti ini tidak bermaksud menyaingi keberadaan media mainstream tetapi justru ingin merangkul dan mengembangkannya. “The umbrella model of citizen journalism sees this the new medium as a way to enhance the company’s products rather than to compete with them.”(Bentley, 2008)
Selain model tersebut, ada juga model media yang menjadi semacam ‘kolektor’ bagi para aktivis citizen journalism. Situs semacam ini menarik banyak pengiklan karena sirkulasi membernya yang menjanjikan. Keberadaan situs semaacam ini menghadirkan kedekatan konten terhadap audiensnya, yang merupakan kontributor dari konten yang bersangkutan. Hal ini memberi kemudahan dalam menentukan keterbacaan dari situs tersebu. (Bentley, 2008).
Hal yang perlu disadari adalah bahwa dalam kenyataannya sumber daya yang dimiliki oleh citizen journalism sangat terbatas, baik teknologi, financial, maupun sumber daya manusianya. Ditegaskan oleh Bruns bahwa poin dari keadaan ini adalah citizen journalism tidak ‘seharusnya’ bertujuan untuk menggantikan industri media yang selama ini berkembang. Alih-alih menantang keberadaan media mainstream, Bruns berpendapat bahwa citizen journalism justru dapat berperan sebagai pelengkap. Terkait dengan hal ini ada tiga dimensi kunci yang oleh Shirky (1999) disebut sebagai ‘resource horizon’.
Pertama, citizen journalism dapat meningkatkan keluasan koverasi media dengan reportase langsung dari area dimana jurnalisme pada media mainstream tidak dapat menjangkaunya, termasuk juga mengenai isu-isu yang selama ini kurang diperhatikan oleh media. Kedua, dapat menambah kedalaman koverasi dengan menawarkan evaluasi lengkap mengenai peristiwa yang sedang terjadi, ditambah dengan suara-suara kritis yang memungkinkan adanya koverasi yang multiperspektif. Ketiga, dapat meningkatkan koverasi isu over time, bahkan 24 hours, sirkulasi informasi dengan menggunakan teknologi informasi membuat informasi dan berita menjadi beragam.
Wijayana, seorang dosen komunikasi UNDIP, mencoba mengungkap mengenai sikap media mainstream di Indonesia terhadap kehadiran citizen journalism. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa pimpinan media mainstream di Indonesia, ada beberapa strategi yang dijalankan. Pertama, membuat versi online untuk mengimbangi informasi dari para citizen journalist. Kedua, bekerjasama dengan citizen journalist, bahkan ada yang menjalankan proyek bersama. Ketiga, menyaring informasi dari para citizen journalist. Hal tersebut menunjukkan bahwa media mainstream cenderung memilih untuk bekerjasama daripada melawan perkembangan citizen journalism. Sebuah strategi yang cukup cerdik untuk tetap mempertahankan keberadaannya, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa strategi ini akan mendatangkan keuntungan.
KOMODIFIKASI AUDIENS
Ada tiga tahapan perkembangan internet (Carveth & Metz, 1996 dikutip oleh Alison Alexander dkk, 2004). Pertama, tahap yang dikembangkan oleh the pioneers, yaitu para ilmuwan (scientist and engineers) yang memfokuskan fungsinya pada keamanan nasional. Kedua, tahap yang digunakan oleh ilmuwan dan akademisi (scientist and academics). Pada tahap ini, pengembangan internet mulai digunakan untuk pertukaran sumber daya dan informasi antar sesama. Ada kepercayaan bahwa kapasitas internet hampir tidak terbatas sehingga mempunyai peluang besar untuk memberikan kenyamanan dalam berinteraksi. Ketiga, tahap dimana internet mulai dilirik oleh para pemilik modal (people of capital) yang mencoba mencari peluang keuntungan dalam perkembangan internet. Tahapan tersebut memberikan gambaran bagaimana fungsi internet mengalami pergeseran yang signifikan, yaitu dari keamanan nasional dan juga kenyamanan masyarakat berubah didominasi oleh para pencari keuntungan. Meskipun tidak dapat dikatakan sebuah kesalahan, perubahan ini memberikan efek yang signifikan terhadap semangat kebebasan dan kepublikan yang diusung oleh media baru ini.
Dallas Smythe (1977 dikutip oleh Mosco, 2009 : 136) menyebutkan bahwa audiens adalah komoditas primer dalam media. Berdasarkan pemikirannya, media dilihat sebagai sebuah perusahaan yang memproduksi audiens dan kemudian ‘menjualnya’ kepada pengiklan. Konten media, seperti informasi dan hiburan, semata-mata diproduksi oleh media untuk menarik perhatian audiens. Smythe menganalogikan dengan ‘free lunch’ yang digunakan oleh media untuk ‘memaksa’ audiens untuk minum. Disini smythe menyebutnya sebagai audiences labour. Kecenderungan ini tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme global yang semakin lama semakin berkembang, mengintervensi industri informasi. “Capital, in its own manifold and contested manifestations, must actively construct audiences as it constructs labor” (Mosco, 2009 : 138). Dalam bahasa khas ekonomi politik, disinilah terjadi komodifikasi audiens.
Mosco (2009) memberikan peluang baru dalam mengkaji audiens dalam new media. Dalam kacamata Mosco, ada peluang audiens untuk bertahan dari komodifikasi yang dilakukan oleh media mainstream, melalui kekuatan partisipasi dalam new media. Namun, penulis melihat bahwa pelibatatan aktif audiens dalam citizen journalism yang bernaung dalam media mainstream justru menjadi sebuah bentuk baru komodifikasi audiens.
Melihat konteks Indonesia, ada beberapa kecenderungan yang sama mengenai kerjasama yang ditawarkan oleh media mainstream sebagai pemilik websites dengan para citizen journalist (sebagai target audiens) yang bersedia berkontribusi dalam portal berita media tersebut. Hal ini dapat diketahui dari disclaimer ataupun term of use dalam situs-situs citizen journalism yang ada di bawah naungan media mainstream (lihat : http://www.kompasiana.com/term, http://citizen6.liputan6.com/disclaimer). Media memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi audiens untuk mengirimkan berbagai macam informasi yang dirasa perlu untuk dipublikasikan. Namun, media melalui adminnya mempunyai hak untuk melakukan editing sesuai dengan keperluan. Hal ini dilakukan untuk menghindari berita-berita yang sensitif ataupun provokatif. Disini media mempunyai kuasa lebih untuk menentukan berita mana yang layak untuk ditampilkan dan berita mana yang tidak layak. Meskipun penyaringannya tidak begitu ketat, dapat dikatakan bahwa kuasa informasi tetap ada di tangan media.
Selain itu, kuasa media juga ditunjukkan dengan haknya menggunakan informasi yang diberikan oleh para pewarta warga sebagai bahan menyusun berita dalam media utama mereka. Meskipun hanya sebagai bahan mentah, sedikit banyak media tersebut terbantu menggali informasi. Padahal, para citizen journalist tersebut tidak mendapatkan kontraprestasi ekonomi secara langsung. Dalam perbincangan singkat dengan seorangreporter senior Liputan 6, pada saat launching citizen6 di kampus UGM 2011 lalu, menyebutkan bahwa tidak ada kontraprestasi tertentu diberikan kepada warga yang mengunggah beritanya di Liputan 6 versi konvensional (baca : televisi) maupun versi online. Begitu juga pada portal ‘citizen6’. Tidak ada kontraprestasi material yang diberikan secara langsung kepada para kontributor. Jika memang informasinya menarik, baru memungkinkan terjadinya bargaining. Itupun tergantung kesadaran pemilik informasi, apakah mau ‘menjual’ atau memberikannya begitu saja.
Kedudukan audiens, dalam hal ini adalah para citizen journalist, yang masih cenderung inferior juga ditunjukkan oleh ketentuan yang membebani mereka akan segala hal yang dikemudian hari dianggap bertentangan dengan hukum atau menimbulkan masalah. Media cenderung melepaskan tanggung jawabnya terhadap konten. Padahal, di sisi lain segala konten yang diunggah dalam portal mereka dapat digunakan secara bebas oleh media tersebut. Sebuah ketimpangan hak dan tanggung jawab antara media dengan audiensnya. Ditambah lagi dengan keuntungan yang mereka dapatkan dari pendapatan iklan. Dengan memberikan ruang yang luas bagi warga untuk berpartisipasi otomatis akan memancing lebih banyak orang untuk berkunjung ke situs mereka. Artinya, ranking situs tersebut akan naik dan pengiklanpun akan semakin banyak berdatangan. Disinilah keuntungan ganda yang diperoleh media mainstream dari jerih payah para citizen journalist.
PENUTUP
Semangat kejayaan audiens yang dibawa oleh new media bukan tidak mungkin harus pupus lagi, atau paling tidak tertunda. Kelihaian media mainstream dalam menghadapi tantangan zaman menjadi salah satu faktor yang menghambat perkembangan. Dikotomi antara audiens dan media tidak sepenuhnya hilang. Media tetap mempunyai kuasa lebih terhadap audiensnya, dalam hal ini adalah para citizen journalist. Bahkan, audiens dalam situs-situs citizen journalism tidak lagi hanya ‘dijual’ kepada pengiklan tetapi juga dipekerjakan secara gratis untuk mengisi konten dalam situs-situs tersebut.
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi bahwa keadaan tersebut sepenuhnya buruk. Jika memang masyarakat dianggap diuntungkan tanpa harus dirugikan dengan keuntungan berlipat yang diperoleh media mainstream, kolaborasi ini dapat dilanjutkan. Tulisan ini menjadi awal untuk melihat lebih dalam lagi. Penulis berharap tulisan ini tidak hanya mampu menarik perhatian penulis sendiri untuk menggali lebih dalam, tetapi juga mampu menginspirasi pembaca untuk bersama-sama mengembangkannya. Sehingga, kajian mengenai citizen journalism di Indonesia akan semakin kaya. Kedepan, hasil kajian-kajian tersebut dapat menjadi bahan perbaikan bagi keberadaannya.
DAFTAR REFERENSI
BUKU
Alexander, Alison dkk. 2004. Media Economics : Theory and Practice. 3rd ed. New Jersey : LEA Publisher.
Allan, Stuart (ed). 2010. The Routledge Companion to News and Journalism. New York : Routledge.
Fenton, Natalie (ed). 2010. New media, Old News : Journalism & Democracy in the Digital Age. Los Angeles : Sage.
Gunter, Barrie. 2003. News and The Net. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Hill, David T. dan Sen, Krishna. 2005. The Internet in Indonesia’s New Democracy. New York : Routledge.
McQuail, Denis. 1997. Audience Analysis. London : Sage Publication.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. 2 ed. London : Sage Publication.
Yin, Robert K. 1989. Case Study Research : Design and Methods. London : Sage Publication.
JURNAL/ARTIKEL/WEBSITE
Bentley, Clyde H., Ph.D. 2008. Citizen Journalism: Back to the Future? http://citizenjournalism.missouri.edu/researchpapers/bentley_cj_carnegie.pdf Diunduh tanggal 3 Juli 2011.
Bowman, Shayne and Willis, Chris. 2003. We Media : How audiences are shaping the future of news and information. http://www.hypergene.net/wemedia/download/we_media.pdf. Diunduh tanggal 3 Juli 2011.
Bruns, Axel. News Produsage in a Pro-Am Mediasphere: Why Citizen Journalism Matters. http://snurb.info/files/2010/News%20Produsage%20in%20a%20Pro-Am%20Mediasphere.pdf. Diunduh tanggal 3 Juli 2011.
Ismayanti. Masa Depan Jurnalisme Warga di Indonesia. http://pustaka.ut.ac.id/pdfartikel/FIS10504.pdf. Diunduh tanggal 23 September 2011.
Jack, Martha. The Social Evolution of Citizen Journalism. http://cjms.fims.uwo.ca/issues/06-01/jack.pdf . Diunduh tanggal 3 Juli 2011.
James, Barry . New media The Press Freedom Dimension Challenges and Opportunities of New media for Press Freedom. 2007. http://unesco.org.pk/ci/documents/publications/New%20Media.pdf. Diunduh tanggal 3 Juli 2011.
Kurniawan, Moch. Nunung. 2007. Jurnalisme Warga di Indonesia, Prospek dan Tantangannya. http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/03_M_NunungKurniawan_Jurnalisme%20Warga%20Indonesia_Revisi_Ka%20eD.pdf. Diunduh tanggal 23 September 2011.
Livingstone, Sonia. 1999. New media New Audiences?. http://www.sagepub.co.uk/journal.aspx?pid=105720. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.
Merrin, William. 2009. Media Studies 2.0 : Upgrading and Open-sourcing the discipline. http://www.atypon-link.com/INT/doi/abs/10.1386/iscc.1.1.17_1. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.
Napoli, Philip M.. 2008. Revisiting Mass Communication and The Work of The Audience in The New media Environment.
http://www.fordham.edu/images/undergraduate/communications/revisiting%20mass%20communication.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.
Napoli, Philip M.. 2008. Toward A Model of Audience Evolution : New Technologies and The Transformation of Media Audiences. http://www.fordham.edu/images/undergraduate/communications/audience%20evolution.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.
Pavlenko, Tatjana. Interactive Media and Knowledge Environment. http://tpke.files.wordpress.com/2011/01/tatjana-pavlenko-initial-literature-review.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.
Wijayana, Nurul Hasfi dkk. ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/download/271/166. Diunduh tanggal 23 September 2011.
Intercultural Communication sebagai Jalan Keluar
Author: Lisa Lindawati
Abstract
After more than thirty years adopted a ‘top down’ that tends to centralized, the government in reform era moving in the development paradigm based ‘community empowernment’. In the implementation does not always go according to plan. Various problems, both in structural and individual level, appear and affect the process of empowernment. Other problems also arise when a program of empowernment was a cause of conflict in society. Although there has been a paradigm shift from ‘top down’ to ‘bottom up’, is not sufficient to explain the phenomenon in a multicultural nation. There needs to be more sensitive approach to cultural diversity to build this nation into a more appropriate direction.
PENDAHULUAN
Melihat Indonesia yang tidak berhenti membangun menimbulkan pertanyaan besar karena hasilnya belum memuaskan. Hasil pembangunan seakan berhenti pada hitungan angka tetapi tidak terlihat jelas pada perubahan nasib masyarakat. Ditambah lagi dengan banyaknya konflik antar golongan, baik yang berbasis suku, agama, ras, partai, ataupun status ekonomi. Hal ini menjadi salah satu indikator gagalnya pembangunan di Indonesia. Perlu ada upaya perubahan, bukan hanya sistemik tetapi juga dibarengi dengan perubahan paradigmatik untuk memberikan arah yang lebih tepat pada pembangunan.
Dalam tataran teoritis, perubahan paradigma pembangunan membawa ‘pencerahan’ bagi perspektif pembangunan di negara berkembang, dimana kebutuhan masing-masing kelompok memerlukan sentuhan berbeda. Hal ini berpengaruh pada paradigma pembangunan di Indonesia. Setelah lebih dari tiga puluh tahun menganut pendekatan ‘top down’ yang cenderung sentralistik, pemerintah di masa reformasi bergerak pada paradigma pembangunan berbasis ‘pemberdayaan masyarakat’. Pada implementasinya, tidak selalu berjalan sesuai rencana. Berbagai permasalahan, baik dalam tataran struktural maupun individu, muncul dan mempengaruhi proses pemberdayaan tersebut. Hal ini disebabkan kurang siapnya infrastruktur birokrasi dan minimnya sumber daya memadai sebagai pelaku aktif dalam proses pembangunan.
Permasalahan lain juga timbul ketika program pemberdayaan justru menimbulkan konflik dalam masyarakat. Minimnya pengetahuan tentang sosiografis, jaringan komunikasi, dan budaya masing-masing kelompok membuat upaya tersebut justru mempertajam gap dalam masyarakat. Meskipun sudah ada perubahan paradigma dari ‘top down’ menjadi ‘bottom up’, tidak cukup untuk menjelaskan fenomena di negara dengan karakter berbeda. Oleh karena itu, perlu ada penggalian lebih lanjut untuk menemukan perspektif yang tepat dalam melihat Indonesia.
Tulisan ini diawali dengan penelusuran perkembangan teoritis yang mempengaruhi perjalanan pembangunan di Indonesia. Sebagai lanjutannya adalah mencoba memahami perkembangan pembangunan di Indonesia sebagai dasar untuk menggali kemungkinan perspektif baru yang dapat menjadi jalan keluar. Ethno-development menjadi salah satu pendekatan yang coba penulis tawarkan sebagai salah satu jawaban dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Dalam pendekatan ini, komunikasi antar budaya menjadi elemen penting untuk dipahami. Tentu saja tulisan ini belum cukup untuk melahirkan sebuah perspektif baru yang kuat secara paradigmatik. Setidaknya penulis ingin memberikan berbagai peluang riset yang dapat digunakan untuk ‘menolong’ arah pembangunan di Indonesia.
PERKEMBANGAN PENDEKATAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Perkembangan Teori Pembangunan
Secara umum terdapat dua kelompok teori yang muncul berurutan, yaitu Teori Modernisasi dan Teori Dependensi. Pertama, Teori Modernisasi menjelaskan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor di dalam negeri negara bersangkutan. Modernisasi kemudian menjadi semacam komoditi dikalangan masyarakat yang menempatkan faktor mentalitas menjadi penyebab perubahan. Karena modernisasi berasal dari barat, maka modernisasi tidak lepas dari keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait dengan konsep pembangunan (development) yang muncul sebagai ‘politik balas budi’ dari negara yang ada di wilayah Eropa Barat dan Amerika Serikat terhadap wilayah bekas jajahan mereka. Sebagai bentuk balas budi tersebut, Eropa Barat dan Amerika Serikat yang menyebut dirinya ‘Negara Maju’ merasa mempunyai kewajiban menolong negara-negara yang belum maju (sedang berkembang) untuk memperbaiki kualitas masyarakatnya. Sejak berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1950an, mulai gencar dilakukan berbagai program bantuan dari negara maju untuk negara ‘belum maju’, yang sebagian besar ada di wilayah Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Dengan kiblat bahwa peradaban yang dianggap maju adalah peradaban seperti Eropa dan Amerika.
Menurut Harun dan Ardianto (2011), teori modernisasi mampu menurunkan berbagai implikasi kebijaksanaan pembangunan yang perlu diikuti negara dunia ketiga dalam usaha memodernisasikan dirinya. Pertama, membantu secara implisit pembenaran hubungan bertolak belakang antara masyarakat tradisional dan modern. Hal ini memunculkan Amerika dan Eropa sebagai panutan bagi Dunia Ketiga. Kedua, teori modernisasi menilai ideologi komunisme sebagai ancaman pembangunan. Sehingga, Dunia Ketiga tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti arah perkembangan Amerika Serikat dan Eropa Barat. Teori ini menyarankan agar Negara Dunia Ketiga melakukan pembangunan ekonomi, meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional, dan melembagakan demokrasi politik. Ketiga, teori modernisasi mampu memberikan legitimasi tentang perlunya bantuan asing. Hal ini menimbulkan ketergantungan negara dunia ketiga terhadap negara maju.
Dalam konteks Indonesia, Teori Modernisasi menemui banyak kritik. Salah satu kritik paling santer adalah mengenai penekanan pada faktor ekonomi. Salah satunya disampaikan oleh Susetyawan (Dalam Suparjan dan Suyatno, 2003) yang mengatakan bahwa pembangunan yang ditawarkan oleh negara maju tidak lain adalah perpanjangan tangan kapitalisme untuk menciptakan pasar di negara berkembang. Dengan meningkatnya perekonomian masyarakat, otomatis akan meningkatkan daya beli mereka terhadap produk industri kapitalis. Selain itu, paradigma yang mendasari teori modernisasi menimbulkan kebergantungan negara terhadap pihak donor. Disinilah kemandirian negara sama sekali tidak terwujud. Selain itu, kritik juga disampaikan oleh Arief Budiman (1984 dalam Salim, 2002 : 72), bahwa teori modernisasi berkembang di banyak negara berkembang dengan tidak mempertimbangkan akar budaya lokal sebagai potensi pembangunan. Oleh karena itu bersifat a-historis.
Kelemahan dari teori modernisasi mendorong munculnya teori kedua, yaitu teori dependensi yang lebih banyak mempersoalkan faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di negara-negara tertentu. Kemiskinan lebih banyak dilihat sebagai akibat bekerjanya kekuatan luar yang menyebabkan negara gagal melakukan pembangunan. Teori strukturalis ini menolak jawaban dari teori modernisasi. Pembagian kerja secara internasional justru mengakibatkan keterbelakangan bagi negara-negara pertanian (negara berkembang).
Kedua teori tersebut meskipun sudah berpijak pada paradigma berbeda dianggap belum mampu menjawab tantangan zaman. Hal ini disebabkan masih bertumpu pada apa yang disebut dengan pertumbuhan, dimana ada arah linear yang harus dilalui untuk mencapai modernisasi. Hal ini melupakan pembangunan ‘manusia’ seutuhnya. Teori Dependensi memang mampu menjadi cikal bakal semangat pembebasan ini. Namun, dianggap belum mampu sepenuhnya menciptakan sebuah paradigma alternatif. Teori Dependensi berpijak pada tradisi kritis yang melupakan aspek teknis dalam proses pembangunan itu sendiri. Keadaan ini mendorong munculnya paradigma alternatif yang berpijak pada pemberdayaan. Sebutan alternatif banyak dikumandangkan sebagai istilah yang merujuk pada ‘perlawanan’ dari hegemoni nilai ‘Barat’. Hal ini disebabkan banyaknya ketidaksesuaian antara nilai-nilai barat beserta metode pembangunannya, dengan kondisi riil dalam masyarakat non Barat.
Dalam paradigma baru, pembangunan tidak lagi ditentukan oleh pemegang kekuasaan (negara). Pemberdayaan menjadi tujuan utama dari proses pembangunan. Pemberdayaan yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai empowernment berasal dari kata power (kekuasaan), yang merujuk pada pengertian pemberian kekuasaan kepada individu atau masyarakat untuk menentukan arah perkembangan dirinya. Tidak ada lagi universalitas nilai yang ditujukan bagi masyarakat. Masing-masing individu berkuasa sepenuhnya akan perkembangan dirinya sendiri. Disinilah konsep pemberdayaan sering disandingkan dengan pendekatan partisipatif, dimana dalam proses pembangunan, partisipasi masyarakat menjadi keharusan. Bukan partisipasi dalam mensukseskan program yang dicanangkan oleh pemerintah, karena ini tidak ada bedanya dengan teori modernisasi. Namun, lebih pada partisipasi untuk menentukan arah pembangunan.
Lebih lanjut mengenai pemberdayaan, menurut Wrihatnolo dan Dwidjowidjoto (2007), mengatakan bahwa pemberdayaan bukanlah isu politis tetapi lebih pada isu manajemen yang menekankan pada kontinuitas. Peter F. Drucker (dalam Wrihatnolo dan Dwidjowidjoto, 2007) mengatakan, “there is never underdeveloped country; there is always undermanaged country”. Salim (2002) memaparkan setidaknya ada empat elemen penting yang harus dijamin dalam upaya pemberdayaan. Pertama, akses dimana setiap anggota masyarakat dijamin mempunyai akses terhadap segala sumber daya yang mendukung perkembangan dirinya. Kedua, partisipasi untuk menyuarakan pendapatnya. Ketiga, kontrol yang merujuk pada kuasa untuk menentukan nasib sendiri ataupun kuasa untuk mengkritisi berbagai proses pembangunan. Keempat, kesetaraan bagi seluruh individu masyarakat. Terkait dengan aspek tersebut, dalam upaya pemberdayaan perlu diperhatikan setidaknya tiga hal, yaitu jaringan sosial, kohesivitas sosial, dan agen perubahan. Masing-masing elemen tersebut sangat berkaitan dengan pola komunikasi yang dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Meskipun paradigma pemberdayaan dianggap sebagai sebuah pencerahan dalam pembangunan, bukan berarti tidak menemui kritik. Dalam konteks Indonesia, Susetyawan (dalam Suparjan dan Suyatno, 2003) mengatakan bahwa pemberdayaan sudah menjadi barang dagangan. Pernyataan ini berdasar pada realitas dimana program-program pemberdayaan tetap bergantung pada lembaga donor internasional. Mekanisme pembangunan memang sudah berubah tetapi arahnya tidak berbeda jauh dengan paradigma konvensional. Indikator keberhasilan juga masih bertumpu pada hitungan ekonomi. Kecurigaan lebih mendalam lagi adalah proses ini tidak berbeda jauh dengan perluasan pasar kapitalisme dengan menyesuaikan paradigma terbaru. Jika ini yang terjadi, tentu saja bukan merupakan sebuah kemajuan. Mari kita lihat apa yang bisa disumbangkan ilmu komunikasi untuk memperbaiki keadaan ini.
Perkembangan Teori Komunikasi Pembangunan
Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang sangat luas dan ada dalam berbagai pijakan paradigma maupun perspektif. Dibantu oleh Robert T. Craig (dalam Turner, 2010), Ilmu Komunikasi setidaknya dapat dibedakan menjadi tujuh tradisi, yaitu Sosiopsikologi, Sosiokultural, Fenomenologi, Sibernetika, Semiotika, Kritis, dan Retorika.
Pertama, Tradisi sosiopsikologi menekankan pada hubungan kausal dalam proses komunikasi. Tradisi ini berpijak pada aliran realisme yang melihat bahwa kebenaran bersifat objektif. Sehingga, untuk mendapatkan kebenaran juga berdasarkan pada penelitian empirik. Hubungan relasional dalam komunikasi menjadi fokus dari tradisi ini. Kedua, Tradisi sosiokultural menekankan pada pentingnya konteks dalam proses komunikasi. Tradisi ini berpijak pada pemahaman bahwa realitas ada pada kognisi subjek. Pemahaman mengenai konteks menjadi penting dalam memahami sebuah realitas. Namun, tradisi ini tetap mempercayai adanya kebenaran objektif. Ketiga, Tradisi kritis berangkat dari semangat pembebasan, dimana ilmu komunikasi seharusnya mampu membebaskan manusia dari ketertindasan. Keempat, semiotika fokus pada kajian mengenai tanda dalam komunikasi. Kelima, Fenomenologi berpijak pada aliran idealisme yang memandang komunikasi sebagai interpretasi individu dalam kehidupan kesehariannya. Nuansa subjektivisme juga sangat kuat dalam tradisi ini. Keenam, sibernetika yang berkaitan erat dengan perspektif sistem. Komunikasi dipandang sebagai sebuah proses. Realitas besifat objektif (realisme) tetapi kebenarannya dapat dikatakan harus holistik (koherensi). Ketujuh, Tradisi Retorika, melihat komunikasi sebagai seni berbicara untuk mempengaruhi lawan bicaranya.
Terinspirasi dari Agusta (2007), penulis mencoba mengaitkan tradisi ini dengan paradigma teori pembangunan. Setidaknya ada tiga tradisi yang mempunyai korelasi dengan teori pembangunan. Pertama, tradisi sosiopsikologis dan kedua, tradisi sibernetik yang seiring dengan Teori Modernisasi Pembangunan. Teori yang berkembang di bawah tradisi sosiopsikologis antara lain Teori Efek yang mendominasi perkembangan ilmu komunikasi, seperti Teori Jarum Suntik, Teori Peluru, Stimulus Respon, dll. Kemudian, teori tersebut berkembang di bawah tradisi sibernetik, antara lain Difusi Inovasi, two steps flow of communications, uses and gratifications theory, dll, Sedangkan tradisi ketiga adalah tradisi Kritis seiring dengan Teori Dependensi yang mencoba untuk membongkar struktur kapitalisme dalam proses pembangunan.
Perubahan paradigma pembangunan terkait erat dengan perubahan pola komunikasi pembangunan yang terjadi. Pada paradigma lama, komunikasi pembangunan dipahami sebagai sebuah komunikasi penyebaran informasi pembangunan, dimana masyarakat dianggap golongan yang belum mengetahui hal tersebut, sedangkan pihak eksternal (pemerintah maupun para ahli), dianggap golongan yang lebih mampu. Dalam paradigma ini, media dianggap mempunyai kekuatan sebagai penyampai pesan modernisasi (Mody, 2002:424).
Pemahaman ini tidak terlepas dari perkembangan ilmu komunikasi yang mengasumsikan bahwa media mempunyai kekuatan super untuk mempengaruhi masyarakat. Dalam konteks ini, teori efek yang mendominasi ilmu komunikasi, mulai dari Teori Jarum Suntik, Teori Peluru, Stimulus Respon, dan lain-lain. Teori media berpandangan bahwa media berperan sebagai pembuat sosial consciousness yang akan menentukan persepsi masyarakat terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya (Hedebro, 1982:93). Media dapat berfungsi untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat mengenai kondisi atau situasi yang sedang dihadapi. Dengan demikian, mereka dapat mengetahui permasalahan mereka dan mau untuk melakukan perubahan.
Media mempunyai potensi untuk mengembangkan modernisasi pada masyarakat tradisional dan mengganti struktur hidup, nilai-nilai dan perilaku mereka dengan kehidupan masyarakat modern (Melkote dan Steeves, 2008:115-116). Namun, fungsi media ini banyak mendapat kritik, diantaranya kekurangan media ini adalah karena sifatnya satu arah. Sifat ini menyebabkan fungsinya dalam proses perubahan sosial menjadi tidak maksimal. Klapper merupakan salah seorang yang menyebutkan bahwa media hanya memiliki dampak ketika dijembatani oleh berbagai variabel (Littlejohn, 2002:322). Kekurangan lainnya dari media massa adalah keberadaannya yang dapat dikatakan tidak banyak ditemui di kalangan masyarakat lapisan bawah, yang justru menjadi target pembangunan tersebut (Hedebro, 1982:116-117).
Pada era yang sama kemudian berkembang pula penelitian yang mempertanyakan sejauh mana keefektifan media massa ini. Hasil dari penelitian yang dilakukan Katz dan Lazarsfeld memunculkan teori two-step flow model of communication effects. Dalam model ini media tidak memiliki efek langsung kepada masyarakat, langkah pertama media memberikan pengaruh kepada opinion leaders yang ada di masyarakat, kemudian opinion leaders ini yang akan menyebarkan kepada masyarakat (Melkote dan Steeves, 2008:108-109).
Penelitian lain, dilakukan Hovland dan Klapper, menunjukkan bahwa sebenarnya audiens tidak pasif dalam menerima pesan dari media massa. Audiens memberikan perlawanan pada pesan-pesan persuasif melalui tiga hal, yaitu selective exposure, selective perception dan selective retention (Melkote dan Steeves, 2008:110). Sehingga masyarakat bukanlah obyek yang pasif dalam menerima pesan, mereka sangat aktif dalam menerima, memproses dan menginterpretasikan pesan.
Selain teori efek, dalam konteks terkait dengan proses pembangunan, Mody (2002) menjelaskan beberapa pendekatan yang mendukung paradigma modernisasi. Pertama, teori difusi inovasi yang berasumsi bahwa ada beberapa tahap komunikasi untuk mendukung proses adopsi inovasi. Dalam teori ini komunikator dianggap mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunikan. Komunikator membawa sebuah inovasi yang akan ‘ditularkan’ kepada komunikan. Teori ini merupakan perkembangan dari teori efek yang mencoba untuk melihat beberapa elemen lain dalam proses komunikasi. Setidaknya ada lima tahapan yang dilalui dalam proses difusi inovasi ini, yaitu awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption. Studi mengenai difusi inovasi ditekankan pada implikasi dari proses komunikasi interpersonal maupun melalui media massa dalam perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Pendekatan kedua yang berkembang untuk mendukung modernisasi adalah Pendekatan Marketing Sosial, dimana ide baru (inovasi) dipasarkan dengan logika produk komersial. Asumsi dari teori ini adalah sumber aktif dan penerima pasif. Model komunikasi yang digunakan cenderung one way, top down, dan keyakinan bahwa efek dari komunikasi tersebut bersifat langsung. Opinion leader, agen perubahan dan media massa digunakan untuk menyampaikan pesan yang bersifat persuasif tersebut. “Development communication under the modernization framework is often viewed as a process of persuasive marketing” (Melkote, 2001 : 38). Dalam konteks ini, konsep-konsep yang muncul antara lain segmentasi audiens, riset pasar, pengembangan produk, insentif, dan fasilitas yang bertujuan untuk memaksimalkan respon dari target. Asumsinya adalah bahwa diperlukan pesan yang berbeda untuk target yang berbeda dan juga pada tahapan yang berbeda.
Pendekatan Ketiga adalah Entertainment education strategies yang mencoba untuk menyelipkan pesan-pesan pembangunan pada tayangan hiburan. Hal ini berdasarkan pada perkembangan asumsi bahwa media tidak lagi efektif dalam mempengaruhi sikap dari audiens. Namun, media masih mampu menguatkan kognisi melalui tayangan-tayangan yang disukai. Pendekatan ini berdekatan dengan Teori Uses and Gratification, dimana audiens diasumsikan lebih aktif dalam memilih media sesuai dengan motif dan kepuasan yang ingin dicapai. Penyisipan pesan-pesan pembangunan tersebut menjadi strategi untuk dapat sampai kepada audiens.
Perkembangan paradigma pembangunan membawa konsekuensi pada pola dari komunikasi pembangunan. Menurut Mody (2002), “development as a process that should provide people with access to appropriate and sustainable opportunities to improve their lives and lives others in their communities”. Yang penting dari proses pembangunan adalah menyediakan kesempatan yang baik untuk mendefinisikan ide pembangunan mereka sendiri dan membentuk pendekatan untuk meraihnya. Model komunikasi linear dengan pertanyaan “who says what in which channel to whom with what effect” menjadi tidak tepat digunakan untuk mengatasi masalah pembangunan masyarakat yang semakin komplek. Pendekatan yang dibutuhkan adalah pendekatan atau model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antara komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaksi (interchange model). Model partisipatori memiliki pertanyaan utama “who is talking back to the who talk to them?“ Artinya semakin banyak dimensi yang diperhatikan. Tekananannya bukan saja pada komunikator yang ingin mencapai sasaran tetapi terutama kepada reaksi komunikan terhadap usul komunikator (Astrid SS, 1982 dalam Setyowati, 2005 : 87)
Fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah tidak berfungsinya media rakyat atau media kelompok sebagai media yang seharusnya dialogis, dua arah, dan partisipatif. Media tersebut masih sering digunakan dalam struktur vertikal dengan menjejalkan informasi siap pakai yang diproduksi secara terpusat kepada khalayak pasif (Oepen,1988:50 dalam Setyowati, 2005:88). Komunikasi dikatakan tepat guna apabila didalamnya berlangsung proses interaksi sosial yang demokratis dan horizontal melalui media yang diproduksi, dikelola, dan dikendalikan oleh masyarakat sendiri, tentu saja beserta tujuan yang ingin dicapai.
Kelemahan dari perspektif modernisasi mendorong munculnya perspektif alternatif yang berpijak pada semangat pemberdayaan. Penekanan pada proses pemberdayaan diilhami oleh perspektif kritis yang menganggap bahwa proses persuasi pada ‘modernization paradigm’ cenderung manipulatif dan berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian pada konteks budaya dimana masyarakat tersebut hidup. Pada Negara Dunia Ketiga yang dalam konsep Melkote dianggap sebagai negara yang miskin dan rawan kelaparan, pemerintah maupun pemimpin yang cenderung korup justru mendapatkan kesempatan lebih untuk memperkaya dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan semakin tingginya kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya.
Beberapa pendekatan yang berlandaskan pada paradigma alternatif antara lain Participatory Action Research dan Empowerment (Mody,2002). Dalam pendekatan Participatory Action Research, masyarakat mempunyai kesempatan untk mengembangkan metode mereka sendiri, menumbuhkan kesadaran mengenai situasi mereka sendiri, sehingga pengetahuan merupakan hasil dari proses kolektif dan demokratis. Proses ini diikuti oleh refleksi dan evaluasi diri yang memunculkan aksi partisipasi sosial dari dalam. Dalam pendekatan ini ada semangat pembebasan. Lebih lanjut Melkote dan Steeves (2001:39) menjelaskan,
“As the purpose of development is assumed to be freedom from oppression, and personal and communal empowernment, the development communication processmust support these goals. Development communication si not message exchange but rather ‘emancipatory communication’ that will free people to determine their own future. That should include everyone participating in the process, not just the so called target groups”.
Kedua, community empowerment (pemberdayaan) yaitu proses untuk meningkatkan kontrol bagi mereka sendiri terhadap segala sesuatunya. Model pemberdayaan fokus pada relasi simetris antara aktor dalam komunikasi. Fokus dari komunikasi pembangunan menurut perspektif ini adalah proses pemberdayaan masyarakat marginal, baik di level individu, kelompok, maupun organisasi. Berbasis pemberdayaan masyarakat, pola komunikasi yang berjalan menjadi dua arah (two ways communication). Melkote menjelaskan, pemberdayaan tidak hanya menekankan pada penyampaian informasi maupun difusi inovasi tetapi lebih pada ‘communicative social action’ pada kelompok-kelompok marginal dalam proses perubahan sosial. Konsekuensi pada komunikasi pembangunan adalah pada peran dari komunikasi itu sendiri, dalam proses perubahan sosial,
“Greater importance will need to be given to the organizational value of communication (than the transmission function) and the role of participative social action communication in empowering citizens” (Melkote, 2001 : 38)
Dengan pola pemberdayaan, masyarakat mempunyai ruang lebih luas untuk mengartikulasikan kepentingannya. Pola ini juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi produsen informasi (komunikator), bukan hanya sekedar konsumen informasi (komunikan). Dengan demikian, masyarakat dapat terlibat dalam proses perumusan rencana pembangunan hingga pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Dengan keterlibatan tersebut, muncul pula tanggung jawab akan keberhasilan dari pembangunan itu sendiri. Disinilah prinsip pemberdayaan menemukan esensinya, dimana pembangunan berbasis pada ’keinginan dan kemampuan’ masyarakat itu sendiri.
PEMBANGUNAN DI INDONESIA
Paradigma pembangunan Indonesia berubah seiring dengan bergulirnya reformasi. Setelah lebih dari tiga puluh tahun menganut pendekatan ‘top down’ yang cenderung sentralistik, pemerintah di masa reformasi bergerak pada paradigma pembangunan berbasis ‘pemberdayaan masyarakat’. Sejak 1997, program pemberdayaan mulai digulirkan. Berbagai infrastruktur birokrasi mulai dibangun untuk mensukseskan program-program tersebut. Pelibatan kelompok-kelompok masyarakat sasaran program menjadi poin penting dalam upaya ini.
Tahun 1999, seiring dengan UU No 22 tahun 2009 mengenai Otonomi daerah, program pemberdayaan semakin gencar dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang dalam konteks ini mempunyai ruang lebih luas untuk merumuskan pembangunan di daerahnya sendiri. Independensi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat meningkatkan pelibatan masyarakat dalam mensukseskan program pembangunan. Namun, strategi ini ternyata belum mampu menunjukkan hasil memuaskan. Otonomi daerah yang diharapkan mampu melahirkan daerah atau masyarakat yang lebih berdaya, justru menimbulkan berbagai masalah. Salah satunya adalah korupsi yang menjalar hingga ke level lokal. Banyak dana pembangunan maupun dana sosial yang diselewengkan oleh pejabat daerah. Banyak proyek-proyek pembangunan yang menjadi ‘lahan basah’ bagi para ‘pemain’ daerah. Hal ini membuat upaya pengentasan kemiskinan, yang menjadi tujuan sentral dari rangkaian program pembangunan menjadi gagal.
Melihat program pembangunan di Indonesia yang sebenarnya tidak pernah putus tetapi tidak juga menimbulkan dampak yang signifikan bagi masyarakat. Keberhasilan itu hanya ada dalam tataran angka kuantitatif tetapi tidak dapat terlihat secara riil di depan mata. Penulis merasakan ada yang salah dengan proses ini. Kemudian, mencoba melihat proses yang terjadi di lingkungannya sendiri. Penulis merasa semakin yakin bahwa ada yang tidak benar.
Mencoba mengawali pemaparan ini dengan sebuah cerita tentang program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di wilayah tempat penulis tinggal. Kebetulan penulis tinggal di sebuah wilayah sub urban di Yogyakarta bagian selatan. Perbatasan antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul. Sejak tahun 2008 wilayah tersebut mendapat program PNPM Mandiri Perkotaan. Program ini disebut-sebut sebagai program unggulan pemerintahan SBY yang berpijak pada upaya pemberdayaan masyarakat. Namun, setelah tiga tahun berjalan (tahap I ditargetkan 3 tahun), tidak terlihat perkembangan yang signifikan. Bukan bermaksud menafikan berbagai pembangunan infrastruktur yang membuat wilayah kami ‘terkesan’ lebih berkembang. Hanya saja partisipasi masyarakat yang menjadi salah satu cita-cita dari program ini sendiri belum menampakkan hasil yang menggembirakan.
Jika kemudian dikatakan bahwa sama sekali tidak ada partisipasi dari masyarakat tentu saja terlalu berlebihan bahkan menjadi sebuah kebohongan. Eksekusi program yang lebih berat pada pembangunan infrastruktur menimbulkan kesan bahwa program ini berbasis ‘project’. Hal ini menimbulkan partisipasi semu dari masyarakat yang hanya terlibat secara insidental, bukan karena adanya rasa ‘handarbeni’ (sense of belonging) terhadap program tersebut. Belum lagi menggerakkan masyarakat yang dibebani dengan tanggung jawab swadaya 30% menyulut berbagai kontroversi yang tidak sederhana.
Partisipasi tersebut terlihat nyata dari terbentuknya sebuah lembaga keswadayaan masyarakat (LKM) yang bertanggung jawab untuk mengelola BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang dikucurkan dari pemerintah. Dana ratusan juta dikelola secara ‘Mandiri’ oleh para anggota LKM yang berperan sebagai pengambil kebijakan. Hanya saja, kemandirian dalam pengelolaan tersebut terbentur oleh prosedur pengajuan dan pertanggungjawaban yang super rumit bagi masyarakat awam. Inilah yang menjadikan tugas ‘LKM’ sebagai agen perubahan dan katalisator pemberdayaan jatuh pada aspek teknis yang cukup menguras energi. Bahkan, besarnya dana yang dikelola menimbulkan persaingan kekuasaan pada pergantian kepengurusan LKM yang jatuh pada akhir tahun 2011 ini. Keadaan ini semakin menyedihkan karena justru menimbulkan konflik horizontal dalam masyarakat.
Keadaan tersebut membawa kesimpulan sementara penulis pada dua sebab. Pertama, disain program yang memang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, dimana sumber daya manusia menjadi salah satu elemen penting dalam kesuksesan program ini. Begitu juga dengan disain prosedur program yang justru membebani masyarakat. Kedua, kesalahan ada pada tataran implementasi program yang disebabkan oleh kurang optimalnya proses komunikasi yang terjadi. Jika berpijak pada semangat pemberdayaan, komunikasi tidak boleh berhenti pada tataran formal dan pada forum-forum resmi seperti rapat koordinasi, pertemuan sosialisasi, atau rembug warga tahunan (RWT). Inilah yang terjadi pada pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan yang terjadi di wilayah tempat tinggal penulis, dimana komunikasi yang terjalin sangat formal dan tidak sampai pada upaya pembentukan mutual understanding antara pembawa program, dalam konteks ini diwakili oleh fasilitator Kelurahan (Faskel), dengan masyarakat yang menjadi sasaran program.
Meskipun berharap bahwa ini hanya bersifat kasuistis, penulis justru berkeyakinan bahwa ini juga banyak terjadi di wilayah yang lain. Agusta (2007) dalam penelitiannya mengenai PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan pada tahun 1998-2008 mengindikasikan permasalahan yang sama. Menurut pandangan Agusta (2007), Indonesia masih terjebak dalam teori modernisasi meskipun sudah masuk dalam semangat pemberdayaan. Disain program yang belum tepat dalam menempatkan partisipasi masyarakat membuat program inipun belum menunjukkan perkembangan signifikan bagi masyarakat. Minimnya pengetahuan tentang sosiografis dan jaringan komunikasi masyarakat, oleh fasilitator program, membuat program tersebut justru menjadi media yang mempertajam gap dalam masyarakat. Hal ini juga menjadi temuan dari Achmad Gunawan di Desa Gondowangi Wangir Jawa Timur. Dalam kesimpulan penelitiannya, Gunawan (2008) mengatakan bahwa program pemberdayaan tersebut, dalam hal ini Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dianggap berhasil. Keberhasilan ini terlihat dari terbangunnya sarana publik seperti pipanisasi dan pengaspalan jalan. Namun, disisi lain pemberdayaan yang dikembangkan dalam PPK memunculkan konflik sosial di masyarakat. Walaupun wujud konflik bukan dalam tataran manifes destruktif, setidaknya hal ini perlu menjadi perhatian.
Hal ini juga terjadi di salah satu daerah pesisir di Indonesia, yaitu Lombok. Penelitian dari Ross dan Chamala (dikutip Wayan) menunjukkan bahwa implementasi program pemberdayaan bukannya ‘empowering’ tetapi justru ‘overpowering’, dimana decision making tetap berada di tangan orang yang berkuasa. Hal ini disebabkan kurang siapnya infrastruktur birokrasi dan minimnya sumber daya yang memadai sebagai pelaku aktif dari proses pembangunan. Ross dan Chamala menganggap bahwa konsep ‘empowernment’ hanya retorika saja, tidak sesuai dengan pelaksanaan di lapangan.
Disamping permasalahan tersebut, bangsa ini sedang menghadapi tantangan serius mengenai isu Integrasi. Berbagai konflik antar etnik, wilayah, golongan marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Tumbangnya Orde Baru yang disebut-sebut sebagai sebuah reformasi justru memunculkan disintegrasi yang nyata. Mungkin tidak dapat serta merta dikatakan bahwa ini adalah kesalahan gerakan reformasi yang mengusik kestabilan hasil bangunan otoritarianisme Orde Baru. Namun, kecenderungan ini sebaiknya menjadi perhatian serius bari seluruh elemen bangsa. Sisa-sisa masalah kebijakan pembangunan sentralistik di masa Orde Baru juga menjadi salah satu pemicu maraknya fenomena tersebut. Indonesia bisa tercabik-cabik menjadi serpihan kecil, yang menjadi penderitaan politik yang berkepanjangan, karena negara Indonesia dibangun dalam model yang tak pernah final (Salim, 2002 : 6). Konflik antar suku bangsa yang marak terjadi akhir-akhir ini berintikan pada masalah hubungan antara suku asli dengan pendatang. Konflik-konflik itu justru terjadi lantaran adanya proses pengaktifan jati diri suku bangsa dalam membangun solidaritas untuk membentuk sumber daya yang ada (Salim, 2002)
Perencanaan pembangunan sentralistis bukan saja memiliki implikasi yang sangat kompleks, namun juga sulit dilaksanakan secara tepat dan terbukti tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat bawah dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Sistem pembangunan yang sentralistis menurut Suparjan dan Suyatno (2003) menyebabkan setidaknya 3 hal. Pertama, terjadinya uniformitas dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mengakibatkan termarginalisasikan kearifan dan pengetahuan lokal dalam wacana dan praksis pembangunan. Kedua, campur tangan pemerintah yang terlalu besar mengakibatkan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Ketiga, ketimpangan dalam masyarakat akibat ketidakmerataan pembangunan yang memang jangkauannya terbatas.
Pembangunan nasional yang terjadi di Indonesia telah menghasilkan terbongkarnya basis budaya kesukuan dan menguatnya stratifikasi sosial akibat masuknya konsepsi pluralisme masyarakat. Masyarakat majemuk yang terjadi di Indonesia, tidak menghasilkan tatanan kehidupan egaliter dan demokratis, melainkan sebuah masyarakat yang berpotensi otoriter dan despotis karena corak suku bangsa yang beraneka ragam, yaitu dari feodalistis, paternalistis, sampai etnosentris (Salim, 2002). Salim juga memaparkan beberapa permasalahan yang banyak terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia.
Pertama, Gejolak masyarakat lokal, akibat krisis masyarakat yang multi-dimensional. Ini terjadi hampir di seluruh dunia seperti krisis ekonomi yang membuat masalah kemiskinan semakin parah. Kedua, Konflik antar kepentingan dalam suatu negara banyak muncul karena ada gerakan sementara di setiap wilayah yang memiliki basis etnik, agama yang berbeda atau memiliki potensi sumber daya yang lebih baik. Dikatakan oleh Huntington (1997 dalam Salim, 2002) bahwa perang masa depan tidak lagi perang antar negara atau perang antar pemilik modal tetapi perang antar kultur antar peradaban. Hal ini disebabkan batas negara dan batas modal pada masa depan akan semakin kabur. Yang justru menguat adalah batas kultural. Huntington pernah meramalkan akan memadatnya gejala penguatan basis etnis dimasyarakat modern. Suatu upaya pembentukan identitas peradaban masyarakat dunia yang terjadi dari keseimbangan antara power, culture, dan indigenization. Hal ini terkait dengan permasalahan berikutnya.
Ketiga, Pertikaian antar etnis. Sampai sejauh ini tidak ada upaya sistematis untuk mencegahnya sehingga perjuangan etnis dilakukan melalui cara kekerasan lingkungan (environmental violence), yakni sebagai proses perubahan lingkungan dan marjinalisasi sumber daya alam secara massif oleh kekuasaan pemerintah pusat, yang mewarisi ketidakadilan dan mengikis habis martabat kebudayaan etnik yang merupakan basis kebudayaan lokal. Banyak gejolak terjadi akibat menguatnya revolusi identitas (identity revolution), yakni semakin mengerasnya batas-batas identitas etnis yang amat bertemali dengan lestarinya stereotip, prasangka, dan pengkambighitaman reproduksi rancang bangun politik dan komidifikasi SARA.
Permasalahan tersebut mendorong upaya pembangunan masyarakat yang berorientasi kepada kebutuhan lokal dan semakin menciutnya upaya universalisme kekuatan dunia (dalam Salim, 2002). Huntington memberikan enam alasan mengapa hal tersebut menjadi hal yang tidak dapat dielakkan. Pertama, perbedaan peradaban sangat mendasar karena mengenai filosofi hidup berbagai komunitas masyarakat, termasuk di dalamnya agama. Kedua, Kemajuan teknologi meningkatkan intensitas interaksi antara individu dengan latar belakang peradaban berbeda. Ketiga, Modenisasi ekonomi yang dijalankan dengan pembangunan membuat dunia menjadi mengglobal yang menyebabkan masyarakat tercerabut dari identitas lokal yang sebenarnya sudah mengakar, sedangkan identitas negara semakin kabur. Keempat, Tumbuhnya kesadaran peradaban lokal. Kelima, Karakteristik budaya dan peradaban yang kurang bisa menyatu dibandingkan dengan perbedaan politik atau ekonomi. Keenam, Regionalisme ekonomi semakin meningkat di tengah masyarakat global.
Perlakuan yang sama terhadap semua wilayah, golongan, ataupun kelompok yang menyusun keberagaman Indonesia tentu saja sudah tidak pas lagi dilakukan. Namun, pembenahan disain pembangunan tanpa disertai dengan pemahaman paradigmatik justru akan menimbulkan permasalahan baru. Disinilah ilmu sosial yang concern dengan pembangunan menemui tantangan untuk memperbaiki keadaan.
MENCARI JALAN KELUAR
Melihat karakter masyarakat Indonesia, pembangunan sentralistis yang menginduk pada teori modernisasi sudah jelas bukan pilihan tepat. Peralihan ke arah pemberdayaan menjadi sebuah berkembangan positif. Namun, banyaknya konflik di level akar rumput menjadi salah satu indikator masih gagalnya pembangunan negeri ini. Untuk mengatasi keadaan ini kita tidak dapat berhenti pada konsep pemberdayaan tetapi menggali lebih jauh mengenai pemberdayaan yang seperti apa. Dalam tulisan ini, penulis menawarkan perspektif komunikasi antar budaya untuk menambah kepekaan pemberdayaan di Indonesia, mengingat masyarakat Indonesia yang sangat plural. Pendekatan multikultural menjadi penting untuk pembangunan yang lebih efektif dan efisien melalui pemberdayaan ‘sungguh-sungguh’.
Ethno-development yang didukung oleh pemahaman komunikasi antar budaya perlu mendapat perhatian ‘serius’. Ethno development merupakan pendekatan yang menempatkan budaya sebagai pusat dari perencanaan pembangunan, khususnya di wilayan pedesaan (pedalaman). Pendekatan ini menunjukkan bagaimana budaya tradisional, teknologi, pengetahuan, kemampuan organisasi, dan talenta dapat berperan dalam membentuk sebuah proses pembangunan yang berkesinambungan (ecologically suistanable development), yang menjadi tujuan dari teori pembangunan terkini[1].
Taketani (2008) dalam sebuah riset mengenai Komunikasi Antar Budaya untuk Pembangunan menggambarkan pentingnya pendekatan interdisipliner untuk membuat model pembangunan yang tepat (lihat figure 1). Pertama, communication for development seperti yang sudah banyak dipaparkan sebelumnya. Dalam pengertian Taketani, komunikasi pembangunan merupakan sebuah proses dialogis, terutama melalui komunikasi interpersonal, untuk membentuk sebuah pemahaman yang sama mengenai pembangunan itu sendiri. Hal ini selaras dengan komunikasi pembangunan di bawah perspektif alternatif (pemberdayaan) yang menekankan adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan tersebut. Tujuannya adalah untuk membentuk rasa ‘handarbeni’, ‘rasa memiliki’ atas pembangunan yang dijalankan.
Kedua, culture and development menekankan pentingnya pemahaman budaya dalam pembangunan. Dalam konteks ini, Taketani memaparkan pentingnya memahami bagaimana sebuah budaya terjadi dan bukan hanya mengapa sebuah budaya terjadi. ‘Not only why culture matters, but how cultures matters’.
Ketiga, Intercultural communication, dimana di dalamnya ada beberapa aspek yang harus dipahami. Pertama, language and relativity of experiences, yaitu bagaimana bahasa, baik verbal maupun non verbal sangat bergantung dari konteks dimana bahasa itu berkembang. Kedua, non behavioral, yang dibedakan menjadi high context dan low context. Penyesuaian terhadap elemen ini penting untuk merumuskan strategi komunikasi yang tepat. Ketiga, communication style suatu komunitas juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Keempat, monochromic and polychromic time, yaitu asumsi suatu kelompok masyarakat terhadap waktu. Kelima, simpati dan empati yang juga menjadi dasar dari bagaimana kelompok memandang orang lain. Dalam elemen ini ada dua konsep yaitu Golden Rule dan Platinum Rule. Golden rule adalah asumsi bahwa semua orang sama sehingga ‘people want to be treated as you do’. Pemahaman ini rawan menjadi ethnocentrism. Berbeda dengan Platinum Rule yang menyadari adanya perbedaan antar kelompok. Empati dan simpati lebih mungkin terbangun diatas asumsi ini. Keenam, nilai dan asumsi yang mendasari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks ini, Taketani menurunkan dari dimensi kultural Hofstede yang akan dibahas lebih lanjut.
Masyarakat Indonesia tidak dapat disamakan dengan masyarakat barat yang berkembang dengan rasionalitasnya. Masyarakat Indonesia yang cenderung komunal memerlukan sentuhan berbeda dalam pemberdayaan. Penulis meminjam analisis dimensi kultural dari Hofstede untuk menjelaskan perbedaan signifikan antara masyarakat barat dengan masyarakat timur, termasuk di dalamnya Indonesia. Dimensi tersebut adalah, (1) individualism vs collectivism; (2) Uncertainty Avoidance; (3) Power Distance; (4) Masculinity vs Feminity.
Pertama, Individualism vs Collectivism. Menurut analisis hofstede, masyarakat timur cenderung kolektif dibandingkan dengan masyarakat barat yang cenderung individualis. Implikasinya adalah pada pemahaman mengenai individu. Pada masyarakat individualis, individu dipandang sebagai individu yang mandiri. Sehingga, mempunyai kebebasan lebih besar untuk berekspresi dan mengembangkan diri. Hal ini berbeda dengan masyarakat kolektif, dimana memandang dirinya sebagai bagian dari sebuah komunitas. Persepsi ini memberi ruang yang relatif lebih sempit bagi individu untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara mandiri. Kebergantungan terhadap komunitas menjadi salah satu penghambat perkembangan individu. Jika dikaitkan dengan konteks pembangunan, kolektivitas dapat menjadi penghambat kemajuan individu. Namun, jika dapat digerakan dengan tepat akan menjadi sebuah modal luar biasa. Hal ini mendorong pentingnya membangun sebuah komunitas sebagai aktor pembangunan. Komunikasi antar budaya tentu saja menjadi salah satu pendekatan yang akan memudahkan upaya ini. Suatu strategi yang perlu dilakukan secara tepat untuk mengelola masyarakat di suatu komunitas wilayah, dengan kebutuhan mereka sendiri, tanpa harus mengubah mereka menjadi masyarakat lain.
Kedua, Uncertainty avoidance, adalah pencegahan terhadap suatu ketidakpastian, termasuk didalamnya perubahan atau inovasi. Menurut indikator dari Hofstede, Indonesia dapat dikategorikan masyarakat yang mempunyai pencegahan ketidakpastian tinggi. Itu artinya, sesuatu yang baru dianggap membahayakan. Dalam tataran ekstrim dapat dikatakan anti perubahan. Sehingga, upaya difusi inovasi pasti akan menemui hambatan. Pembangunan akan lebih sukses jika berasal dari komunitas mereka sendiri, bukan ketidakpastian yang berasal dari luar. Jika saat ini masyarakat Indonesia menjadi high adopter (hobi mengimitasi kebudayaan orang lain), bukan berarti bahwa kecenderungan ini berubah. Perubahan tersebut hanya dipermukaan saja dan tidak mengubah substansi dari suatu kebudayaan yang menjadi akarnya. Jikalau memang berubah, perubahan tersebut hanya terjadi pada masyarakat golongan tertentu saja. Untuk mengetahui secara empiris, riset-riset diperlukan untuk memahami kecenderungan baru ini.
Ketiga, Power distance. Indonesia, menurut indikator Hofstede cenderung ‘high power distance’. Masyarakat Indonesia belum egaliter. Leader dianggap tidak terjangkau, terpisah dari ‘rakyatnya’. Ada stratifikasi yang cukup kuat dalam masyarakat. Budaya ‘sendiko dawuh’ melekat sebagai bentuk kepatuhan rakyat terhadap pemimpin. Asumsinya ada peluang bagi program-program yang sentralistik mendapat respon positif dari masyarakat. Sayangnya, saat ini kepatuhan terhadap pemimpin menjadi cenderung negatif. Tidak berdasarkan pada kesadaran dari dalam, sehingga pelaksanaan pembangunan yang top down menjadi kurang efektif. Namun, inipun masih berdasarkan dari analisis penulis saja belum didukung dengan data-data yang sifatnya empiris.
Keempat, Masculinity vs feminity. Hal ini menjadi kendala dalam mainstreaming perempuan dalam pembangunan. Apakah memang upaya pelibatan perempuan menjadi hal yang signifikan mempengaruhi pembangunan tentu saja masih memerlukan kajian lebih lanjut.
Kekuatan negara adalah kumpulan beragam kepentingan yang bersilang tindih, mulai dari kepentingan ekonomi, politik, dan etnis, yang menjelma menjadi peradaban bangsa tersebut. Negara harus didirikan dalam bangunan demokrasi yang kokoh yang menghantarkan masyarakat dari beragam etnik dan kepentingan menuju kesejahteraan dalam persamaan hak dan kewajiban. Penekanan pada keanekaragaman kebudayaan, yang harus mencakup tidak hanya kebudayaan suku bangsa, tetapi juga berbagai kebudayaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat setempat di Indonesia, harus dibarengi dengan kebijaksanaan politik nasional yang akan meletakkan berbagai budaya itu dalam kondisi kesetaraan derajat (Salim,2002).
Perubahan sosial bukanlah kekuatan yang saling meniadakan dan menuju kepada identitas tunggal, tetapi perubahan sosial menuju keragaman budaya dan etnis yang mendasari (Salim,2002:5). Pemerintah di negara yang rawan konflik besar perlu mempertimbangkan model pembangunan yang mengutamakan unsur kesukuan (ethno-development).
Yang dibutuhkan adalah sensitivitas terhadap keragaman, dimana pemerintah harus bersikap inklusif dan menjamin adanya akses setiap kelompok etnis, gender, dan agama dalam kegiatan pemerintah dan politik. Model pembangunan yang berasal dari basis kekuatan rakyat tidak sekedar menjadi retorika pembangunan, tetapi memang benar-benar menjadi basis kebutuhan lokal yang muncul sebagai kekuatan kebudayaan.
Komunikasi Antar Budaya menjadi salah satu jalan keluar. Ethno-development. Sebuah proses pembangunan yang berdasar pada keragaman budaya. Masing-masing wilayah mempunyai karakter dan kebutuhan sendiri, sehingga memerlukan penanganan berbeda. Disini partisipasi akan lebih dimungkinkan ketika mereka merasa memang membutuhkan. Semangat pembebasan itulah yang harus ditekankan sehingga mereka mampu memutuskan secara mandiri mau dibawa kemana kehidupan mereka selanjutnya.
PENUTUP
Selama ini, negara berkembang ‘dikasihani’ oleh negara maju dengan diberikan sejumlah nilai-nilai kemajuan yang kadang tidak pas dengan kebutuhan. Perubahan pada semangat pemberdayaan membuat negara berkembang, termasuk Indonesia lebih mempunyai kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri. Hanya saja, ternyata semangat itu tidak bisa serta merta diadopsi tanpa melihat konteks masyarakat setempat. Oleh karena itu, sentuhan perspektif lokal menjadi mutlak untuk dilakukan. Salah satu cara yang ditawarkan penulis adalah dengan mengambil kepekaan dari perspektif komunikasi antar budaya sebagai pisau analisis. Dengan pengembangan riset-riset komunikasi antar budaya, akan mampu dipetakan dengan lebih jelas mengenai keadaan masyarakat Indonesia yang plural. Implikasinya adalah pada perumusan kebijakan yang tepat untuk mendukung pemberdayaan yang tepat pula untuk Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Gudykunst, William B., Mody, Bella. 2002. Handbook of International and Intercultural Communication. 2nd edition. California : Sage Publication.
Harun, H. Rochajat., Ardianto, Elvinaro. 2011. Komunikasi Pembangunan & Perubahan Sosial : Perspektif Dominan, Kaji Ulang, dan Teori Kritis. Jakarta : Rajawali Pers.
Hedebro, Goran. 1982. Communication and Social Change in Developing Nations: A Critical View. Iowa: The Iowa State University Press.
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. California: Wadsworth.
Melkote, Srinivas R., Steeves, H. Leslie. 2001. Communication for Development in the Third World : Theory and Practice for Empowernment. New Delhi : Sage Publication.
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta : Tiara Wacana Jogja.
Sulistyowati, Fadjarini, dkk (ed). 2005. Komunikasi Pemberdayaan. Yogyakarta : APMD Press.
Suparjan dan Suyatno, Hempri. 2003. Pengembangan Masyarakat : dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta : Aditya Media.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
West, Richard., Turner, Lynn H. 2010. Introducing Communication Theory : Analysis and Application.New York : Mc Graw Hill.
Wrihatnolo, Randy R., Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2007. Manajemen Pemberdayaan : Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Jurnal
Agusta, Ivanovich. 2007. Kritik atas Komunikasi Pembangunan dan Program Pengembangan Kecamatan. Diunduh dari http://ivanagusta.files.wordpress.com/2009/04/ivan-komunikasi-pembangunan-ppk-indonesia.pdf pada 10 Januari 2012 pukul 19.17.
Amanah, Siti. 2007. Pola Komunikasi Pelaksanaan Program Pemberdayaan Perempuan Pada Proyek Pengembangan Partisipatif Lahan Kering Terpadu. Diunduh dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/430896101.pdf. Pada12 Juni 2011 pukul 17.30.
Gunawan, Achmad. 2008. Pemberdayaan dan Konflik.
Studi tentang Sosiografi dan Jaringan Komunikasi pada
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Gondowangi
Kecamatan Wagir Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Diunduh dari http://digilib.umm.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptummpp-gdl-s2-2008-achmadguna-13370&PHPSESSID=42d6ee65b827a38f44956092d28ba985. Pada 12 Juni 2011 pukul 16.55.
Taketani, Kaesuke. 2008. Intercultural Communication for Development: An exploratory study of Intercultural Sensitivity of the United Nations Volunteer Programme using the Developmental Model of Intercultural Sensitivity as framework. Diunduh dari http://dspace.mah.se:8080/bitstream/handle/2043/7099/ComDev%20KT%20Final.pdf?sequence=1. Pada 16 Januari 2012. Pukul 14.10 wib.
Wayan, Suadnya I. 2005. Empowering or Overpowering? Engaging Community for Sustainable Coastal Development in Lombok, Indonesia. Diundah dari http://www.engagingcommunities2005.org/abstracts/Suadnya-I-Wayan-final.pdf. Pada 12 Juni 2011 pukul 16.37 wib.
Lain-lain
Content © Lisa Lindawati
Proudly Powered by WordPress MU
Theme designed by The Design Canopy
Hosted by Website Staff Universitas Gadjah Mada
111 queries.
0.468 seconds.