AUDIENCES AS ‘WAGELESS LABOUR’


Komodifikasi Audiens dalam Situs  Citizen journalism

Author: Lisa Lindawati

 

PENDAHULUAN

Perkembangan new media membawa tantangan tersendiri bagi studi audiens. Konsep audiens yang selama ini dipahami secara umum sebagai penerima pesan media (receiver) hampir tidak berlaku lagi. Interaktivitas yang ditawarkan oleh media baru memungkinkan receiver berubah menjadi sender, dan begitu juga sebaliknya, sender menjadi receiver. Media yang dalam konsep lama dipahami sebagai produsen pesan (sender) tidak lagi mempunyai monopoli atas informasi. Perubahan ini menggoyahkan dikotomi antara media dan audiens. William Merrin (2009) bahkan mewacanakan pentingnya melahirkan media studies 2.0 sebagai pengganti media studies 1.0 (konvensional), terutama dalam melihat konsep audiens terkait kedudukannya terhadap media.

Salah satu fenomena yang dapat membantu menjelaskan relasi antara media dan audiens adalah citizen journalism, yang semakin lama semakin berkembang. Fenomena ini selain memberi tantangan bagi konsep audiens, juga memberi tantangan bagi studi jurnalisme itu sendiri. Hal ini membuat fenomena citizen journalism semakin menarik, untuk melihat kecenderungan baru mengenai jurnalisme, terutama terkait relasi antara media dan audiens. Lebih spesifik lagi adalah situs citizen journalism yang berafiliasi dengan media mainstream yang notabene dianggap ‘bermusuhan’ dengan citizen journalism, seperti kompasiana.com, citizen6.liputan6.com, maupun kolomkita.detik.com.

Paradoks ini menarik untuk dilihat dari kacamata ekonomi politik. Dalam konteks ini, penulis tidak sekedar memahami audiens dalam dikotomi antara sender dan receiver, tetapi lebih menekankan relasi dengan media. Meningkatnya peran aktif audiens dalam memproduksi pesan, dianggap menjadi sebuah ‘kejayaan’ bagi audiens. Namun, korporasi media seperti tidak ingin tinggal diam dengan ‘bahaya’ yang dibawa oleh citizen journalism. Alih-alih memusuhinya, media mainstream mencoba peruntungannya dengan menggandeng para citizen journalist. Disinilah peluang komodifikasi audiens muncul sebagai strategi bertahan hidup. Audiens yang berperan aktif dalam produksi pesan menjadikannya mempunyai peran ganda yang menguntungkan bagi pemilik media.

 

CITIZEN JOURNALISM DALAM NEW MEDIA

Internet membawa cara baru dalam mengumpulkan dan melaporkan informasi ke dalam newsroom. Dalam lingkungan new media, pembaca mempunyai peran penting dalam melakukan pertukaran dengan jurnalis. Demistifikasi dari jurnalisme ini meruntuhkan sekat antara audiens dan produser yang kemudian mengubah nilai dan norma yang melekat pada ‘berita’. Hal ini mendorong perlunya pemahaman baru mengenai jurnalisme itu sendiri (Fenton, 2010). Salah satu implikasi yang kentara dari perubahan paradigma tersebut adalah lahirnya citizen journalism.

Ide besar dibalik keberadaan citizen journalism adalah, orang tanpa pendidikan formal mengenai jurnalisme, dapat menggunakan teknologi modern terutama perkembangan internet untuk memproduksi pesan, fact check secara mandiri atau bersama-sama (sharing) dengan yang lain. Namun, pengertian dari citizen journalism belum tunggal. Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah jurnalisme hanya ditujukan bagi aktivitas profesional. Sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh non-profesional dianggap bukan bagian dari jurnalisme. Hal ini disebabkan aktivitas jurnalistik mempunyai nilai dan etika yang hanya dipahami oleh jurnalis profesional. Namun, pendapat berbeda juga menyeruak. Tujuan utama dari jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga dapat menjadi bebas dan dapat mengatur dirinya sendiri (Bowman and Willis, 2003). Sedangkan ide yang mendasari lahirnya citizen journalism adalah berkurangnya monopoli informasi dan pengetahuan yang selama ini ada di tangan para profesional (Glaser dalam Allan, 2010 : 578).

Menurut Jay Rosen (2006 dalam Bruns), citizen journalism digerakkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal sebagai audiens. Mereka mempunyai akses dalam mengkreasi dan menyebarkan pesan tanpa bergantung pada teknologi yang selama ini ‘dikuasai’ oleh organisasi media mainstream. Perbedaan antara citizen journalism dan professional journalism menurut Bowman and Willis (2003) adalah jika citizen journalism mendorong partisipasi aktif, organisasi media justru memperkuat kontrol melalui kemampuannya membentuk agenda (agenda setting), memilih partisipan, dan moderasi komunikasi.

Bowman & Willis (2003 dikutip oleh Jack) mendefinisikan citizen journalism sebagai sebuah keadaan dimana citizen mempunyai peran aktif dalam mengumpulkan, melaporkan, menganalisis dan mendistribusikan berita dan informasi. Lebih lanjut, Jack membedakan citizen journalism dan participatory journalism, dimana pada participatory journalism, citizen hanya mempunyai peran dalam memberikan feedback ataupun komentar. Sedangkan berita maupun informasi disediakan oleh media (jurnalis profesional). Namun, hal ini berbeda dengan Bowman dan Willis (2003) yang mengindentikkan citizen journalism dengan participatory journalism.

Bowman and Willis (2003) menjelaskan karakter participatory journalism dibanding dengan organisasi media konvensional. Media konvensional dibentuk dalam organisasi yang hierarkis, yang dibangun untuk kepentingan komersial. Mereka memberlakukan proses editing yang ketat, integritas, dan menguntungkan. Sedangkan participatory journalism dibangun dalam jaringan komunitas yang mengandalkan komunikasi, kolaborasi, kesetaraan, yang melebihi keuntungan ekonomi.

Beberapa istilah lain muncul yang pengertiannya merujuk/hampir sama dengan citizen journalism : grassroot journalism, networked journalism, open source journalism, citizen media, participatory journalism, hyperlocal journalism, bottom up journalism, stand-alone journalism, distributed journalism (Glaser dalam Allan, 2010). Couldry (dalam Fenton, 2010) menyebut citizen journalism dengan writer gatherers, yaitu “anyone who post even one story or photo on a mainstream news site – source actor”

Ada banyak ilmuwan yang optimis dengan keberadaan citizen journalism. Namun, ada pula yang menyangsikan keberadaannya. Hal ini terkait dengan kelemahan-kelemahan yang ada dalam praktik citizen journalism, disamping dengan perdebatan konseptual yang telah disinggung sebelumnya.  Ada beberapa perbedaan mendasar antara citizen journalism dan industrial journalism (Bruns). Pertama, partisipan dalam citizen journalism hanya berlaku acak (menurut JD Lasica disebut ‘random acts of journalism’) yaitu berkontribusi mengirimkan berita dan komentar hanya kadang-kadang dan mengenai topik tertentu saja, alih-alih berusaha untuk melaporan secara komprehensif. Kedua, model cakupannya hanya fokus pada opini, komentar, dan evaluasi terhadap peristiwa tertentu, alih-alih melakukan reportase secara langsung. Ketiga, partisipan dalam citizen journalism bertindak, dalam istilah Bruns, sebagai Gatewatching, dimana ada batasan reportase yang mereka lakukan terhadap sumber berita yang sulit. Hal ini membuat perannya hanya sebatas penyedia basis informasi bagi organisasi media profesional yang kemudian melakukan investigasi lebih dalam. Inilah karakter yang membedakan dengan media profesional yang bertindak sebagai gatekeeping, yaitu sebagai penjaga informasi. Namun, terkait dengan peran media sebagai gatekeeping juga sudah tidak relevan lagi. Saat ini, kita memasuki era multichannel dimana pembatasan informasi hampir sudah tidak mungkin lagi (Bruns).

 

Perkembangan Citizen Journalism di Indonesia

Melacak perkembangan citizen journalism di Indonesia belumlah menjadi perkara mudah karena minimnya rujukan komprehensif mengenai hal ini. Namun, paling tidak perkembangan citizen journalism dapat dipetakan ke dalam dua tahapan. Pertama, citizen journalism yang berkembang pada media konvensional, baik media cetak maupun media penyiaran seperti radio dan televisi. Kedua, perkembangan citizen journalism yang berkembang seiring dengan perkembangan new media.

New media disebut-sebut sebagai penyubur citizen journalism. Namun, keberadaannya bukanlah pelopor keberadaan fenomena yang sering juga disebut jurnalisme warga ini. New media dapat diibaratkan sebagai pupuk yang ditaburkan pada tunas tanaman yang sudah mulai mekar. Pola ini yang terjadi di Indonesia. Penulis memang belum menemukan data rigid. Namun, hal ini dapat dilacak dari sejarah kebebasan informasi di Indonesia. Keberadaan citizen journalism muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap media mainstream. Keterbatasan kebebasan pers pada masa orde baru mendorong perkembangan media berbasis masyarakat, terutama melalui radio dan media cetak underground yang membantu penyebaran informasi alternatif. Salah satu media yang masih mengembangkan citizen journalism model ini adalah Radio ElShinta, yang menggaet lebih dari 100 ribu orang untuk menjadi kontributornya (Ismayanti; Kurniawan, 2007). Selain itu, media televisi juga mulai memanfaatkan para citizen journalist untuk mendapatkan informasi yang tidak terjangkau oleh jurnalis mereka. Inilah salah satu paradoks yang menjadi poin menarik dalam tulisan ini.

Tunas-tunas keterlibatan warga dalam diseminasi informasi yang tidak tercover oleh media mainstream semakin subur dengan kehadiran new media. Loncatan yang paling kentara adalah pada proses reformasi, dimana perkembangan internet dapat dikatakan menjadi salah satu senjata ampuh untuk menjebol gawang pertahanan orde baru. David T. Hill dan Krishna Sen (2005) menyebutnya ’the first revolution using the internet’.

Internet pada awal kemunculannya di Indonesia banyak dimanfaatkan oleh NGO. Mereka menggunakan media baru ini sebagai media alternatif untuk menyuarakan aspirasi yang tidak mungkin disebarkan melalui media konvensional. Pada saat media konvensional berada di bawah pengawasan dan sensor pemerintah, internet menjadi ruang kebebasan. New media menjadi media yang bebas dari kontrol dan sensor pemerintah. Melalui media inilah berbagai aspirasi dan kekecewaan dapat ditampung dan disebarkan secara luas, tanpa ada ketakutan dibungkam atau ditangkap oleh pemerintah (Hill dan Sen, 2004).

Salah satu bentuk media yang fenomenal dalam internet pada awal gerakan reformasi adalah ‘APA KABAR’, yang dimoderasi oleh seorang asal Maryland Mc Dougall. Media ini menjadi sumber informasi alternatif yang tidak mungkin dimuat dalam media konvensional. Konten utama dalam media ini adalah ’a mix of hard news’ dari media konvensional di Indonesia dan dunia, dengan berbagai komentar, opini dan political gossip’. Selain itu, melalui ‘APA KABAR’, masyarakat juga dapat menyampaikan aspirasinya dan saling bertukar pendapat. ‘APA KABAR’ beredar dalam berbagai bentuk, original and relay mailing list, local newspapers and list, bulletin boards, individual subcribers, groups sharing a single email address, dan berbagai website. Penulis menganggap ini adalah salah satu cikal bakal citizen journalism di Indonesia, dalam berbagai pengertian yang luas. Selain APA KABAR, website yang disebut-sebut sebagai awal perkembangan citizen journalism adalah rumahkiri.net (2005), wikimu.com (2006), kabarindonesia.com (2006), kilasan.com (2006), yang bermunculan beberapa tahun kemudian.

Wijayana, seorang Dosen Ilmu Komunikasi ISIP UNDIP, melakukan penelitian mengenai perkembangan citizen journalism. Dalam hasil penelitian tersebut, perkembangan citizen journalism di Indonesia dapat dipetakan menjadi enam kategori. Pertama, citizen journalism murni, yaitu website yang memang mendeklarasikan dirinya sebagai ruang partisipasi warga, contoh : kabarindonesia.com. Kedua, Portal Citizen Journalism  yang berinduk pada website jurnalis atau media professional, contoh : inilah.com. Ketiga, Mainstream’s citizen journalism yaitu ruang yang sengaja disediakan oleh media mainstream. Contoh : kompasiana.com. Yang baru muncul (tambahan penulis) terkait model ini adalah citizen6 milik liputan6.com dan KOKI milik detik.com. Keempat, Portal Comment, yaitu portal yang dikelola oleh jurnalis profesional dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkomentar. Ini salah satu bentuk paling populer. Sebagian website yang berkembang di Indonesia masuk dalam kategori ini. Contoh : okezone.com, vivanews.com. Kelima, Portal forum, yang menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berbagi informasi dan saling memberikan komentar. Contoh paling populer adalah kaskus.us. Keenam, Mainstream portal comment yaitu media mainstream yang memberikan ruang komentar bagi para penggunanya. Contoh : liputan.com.

Era reformasi dibarengi dengan pertumbuhan jaringan internet yang semakin cepat menjadi paduan dramatis ibarat minyak dan pelita kecil. Bukan lagi hanya sekedar pupuk perlahan menyuburkan tunas yang mulai mekar. Namun, sebuah sulutan yang membakar kemampuan masyarakat untuk bertukar informasi secara cepat, mudah, dan terbebas dari segala tekanan. Citizen journalism berkembang seperti jamur dalam berbagai bentuk. Blog, jejaring sosial, personal website, open comment yang dilayani media tertentu, hingga web yang menggantungkan kontribusi konten dari para penggunanya (user-generated content web). Hal ini menunjukkan bahwa citizen journalism di Indonesia berpotensi untuk lebih berkembang lagi. Sebagai sebuah ruang bagi masyarakat untuk mengakselerasi pertukaran informasi guna meningkatkan kualitas kehidupan. Masyarakat tidak lagi perlu bergantung pada media mainstream sebagai pemilik informasi. Namun, jika tidak berhati-hati tidak menutup kemungkinan bahwa ketergantungan tersebut muncul kembali dalam bentuk baru. Keberadaan media mainstream yang menyediakan ruang bagi citizen journalism sudah selayaknya mendapat ruang kajian lebih lanjut. Sebagai upaya menjaga semangat yang diusung oleh citizen journalism, ‘freedom of information’.

 

NEW MEDIA AUDIENCES

Kemunculan konsep audiens sangat terkait erat dengan perkembangan komunikasi massa, dimana media (komunikasi massa) tersebut melahirkan ‘mass audiences’ (Mosco and Kaye, 2000: 33 dikutip oleh Napoli, 2008). Kehadiran new media dianggap ‘mengancam’ eksistensi dari media massa, yang implikasinya berpengaruh pada eksistensi audiens. “Without a mass medium there is no single, collective, audience – only chance similiarities of patterns of media use” (McQuail, 1997). Kehadiran new media secara signifikan membawa perubahan pola produksi, distribusi, maupun konsumsi pesan. Akibat lain yang dimunculkan oleh new media terhadap media massa adalah berkurangnya peran institutional communicator dalam kontrol informasi. Napoli (2008) menyebutnya dengan ‘de-institutionalization of mass communication’ (Napoli, 2008).

Perubahan-perubahan yang terjadi sejak kemunculan media baru, membawa perubahan pada relasi antara media dengan audiens. Pada awalnya, relasi antara media dengan audiens adalah relasi antara sender dan receiver. Media berperan sebagai produsen yang mentransmisikan pesan kepada audiens. Dalam konteks ini, audiens bersifat pasif menerima pesan yang dikirimkan oleh media. Terkait dengan kategori yang diberikan oleh McQuail (1997), audiens berperan sebagai target. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan teknologi yang tidak memungkinkan adanya komunikasi langsung antara sender dan receiver. Komunikasi hanya berjalan satu arah saja. Namun, perkembangan teknologi mampu mengalahkan keterbatasan tersebut. Pada era digital, beriring perkembangan computer based system, bentuk media interaktif mulai berkembang. Hal ini memungkinkan audiens mempunyai kesempatan memberikan feedback kepada sender (media). Audiens berperan bukan sekedar menjadi target tetapi juga partisipan. Bahkan, saat ini, peran audiens sebagai partisipan semakin menguat. Kehadiran new media memungkinkan setiap orang menjadi produsen pesan yang dapat disebarkan dalam skala luas (McQuail,1997).

McQuail menyampaikan empat perubahan penting yang mempengaruhi audiens. Pertama, perkembangan teknologi satelit memungkinkan transmisi pesan yang lebih luas dan lebih beragam. Kedua, perkembangan teknologi rekaman menggeser time control dari media kepada audiens. Ketiga, transnasionalization of television melahirkan worldwide audiences. Keempat, interaktivitas yang ditawarkan oleh computer based system memungkinkan pengguna media melakukan kontrol terhadap lingkungan informasi. Teknologi ini dianggap mampu menyeimbangkan peran receiver dan sender dalam kontrol pesan.

Ada tiga komponen penting yang mendorong evolusi audiens terjadi (Philip M. Napoli, 2008). Pertama, transformasi dinamika konsumsi media. Meningkatnya fragmentasi dalam lingkungan media meningkatkan otonomi audiens dalam berinteraksi dengan media. Kedua, perubahan sistem informasi audiens (audience information systems) yang merujuk pada mekanisme perolehan informasi yang mempengaruhi perilaku audiens. Ketiga, Resistensi dan Negosiasi Stakeholder dalam merespon perubahan audiens. Dalam hal ini, ada upaya dari para pihak berkepentingan untuk memanfaatkan kecenderungan audiens new media sebagai ‘alat’ meningkatkan keuntungan. Hal ini memperkuat pandangan audiences as a market.

Berikut ini beberapa bentuk relasi antara media dengan audiens dalam era new media (McQuail, 1997). Pertama, Allocution adalah bentuk relasi seperti pada traditional media, dimana kontrol ada di tangan sender. Model ini mempunyai karakter terbatasnya kemungkinan ‘feedback’ dan komunikasi antara sender-receiver (one-way communication). Kedua, Consultation, individu mempunyai kesempatan untuk memilih pesan yang sesuai dengan kepentingan dan kenyamanan. Hanya saja, pilihan tersebut terbatas pada pilihan yang disediakan oleh sender. Ketiga, Conversation, dapat terjadi pada computer based interactive system, dimana peran sender-receiver sulit untuk dibedakan. Model ini memungkinkan keterlibatan dan ‘feedback’ dalam skala yang luas. Dalam pengertian ini, McQuail mengatakan “these are not really audiences, but they are sets of media users” (1997 : 39). Model ini merupakan model yang paling tepat untuk menggambarkan kecenderungan terkini. Keempat, Registration, individu mempunyai kontrol dalam information storage, namun tetap ada di bawah pengawasan dan kontrol dari sender. Model ini memungkinan membentuk private audiences  dan private exchange dalam akses informasi.

Perkembangan tersebut membuat relasi antara media dan audiens tidak hanya sekedar senderreceiver. “Mass communication is now a much more egalitarian process, in which the masses can now communicate to the masses” (Fonio, et al., 2007 dikutip oleh Napoli, 2008). Bentuk komunikasi conversation mendominasi dalam new media.

 

RELASI MEDIA-AUDIENS DALAM CITIZEN JOURNALISM

Audiences as Market

Perkembangan konsep audiens akibat dari perkembangan media membawa beberapa konsekuensi menarik. Telah banyak disinggung sebelumnya, audiens tidak bisa lagi dipahami sebagai receiver, tetapi lebih pada perannya sebagai partisipan. Namun, kecenderungan ini dilihat oleh penulis tidak sepenuhnya berdampak positif pada audiens. Derajat interaktivitas yang lebih tinggi dalam media baru dianggap mempunyai peluang menyeimbangkan kekuasaan audiens dengan media, yang selama ini berperan sebagai pengontrol. Partisipasi aktif dari audiens dianggap sebagai ‘kejayaan’ baru bagi individu-individu yang selama ini hanya bertindak sebagai audiens pasif saja. Hanya saja, ada beberapa hal lain yang membuat optimisme itu menjadi kabur.

Keberadaan new media mengaburkan dikotomi antara media dan audiensnya. “Web sites began challenging the traditional media paradigm by letting readers become writers.” (Bentley, 2008). Pada era new media, dimana citizen journalism berkembang, audiens pasif berubah menjadi audiens yang aktif dalam proses produksi dan diseminasi pesan. Bruns menyatakan bahwa populernya citizen journalism menunjukkan adanya perubahan paradigma mengenai relasi antara organisasi media dan audiensnya. Bruns mengembangkan intilah Pro-Am (Professional-Amateur), Alvin Toffler menyebut fenomena ini dengan ‘prosumer’ (1980 dalam Jack) dimana audiens secara bersamaan menjadi produsen sekaligus konsumen dari konten media. Hal ini senada dengan yang dikatakan Bruns. Sebagai medium yang bersifat bottom up, Bruns menganggap bahwa partisipan dalam citizen journalism berperan sebagai produser sekaligus konsumen dalam waktu yang sama. Sedangkan Thompson (2006 dikutip oleh Jack) menjelaskan, “The audience will no longer be a traditional audience, but instead, “participants and partners”.

Berdasarkan survey (Bruns, 2005 dalam Jack) yang dilakukan terhadap produser dalam tiga situs citizen journalism dapat dipahami bahwa ada beberapa motivasi yang mendorong mereka aktif berpartisipasi. Sebagian besar menyatakan bahwa termotivasi oleh keinginan untuk berperan aktif dalam penyebaran informasi. Sebagian yang lain termotivasi oleh keinginan untuk terlibat dalam proses kreatif dan berbagi dengan audiens yang lebih luas. Selain itu, motivasi pada income yang dapat diperoleh dari media-media yang berkepentingan. Lebih lanjut, Jack mencoba untuk menelusuri motivasi dan kepuasan yang dirasakan oleh para citizen journalist yang aktif memproduksi pesan. Dalam penelitian tersebut, Jack menjelaskan bahwa dengan adanya perubahan hubungan dari top down menjadi two ways conversation membuat audiens merasa dapat mengambil kembali tempat mereka dalam sirkulasi informasi. Namun, optimisme ini sepertinya perlu ditinjau kembali.

Napoli (2008) dalam artikel berjudul Revisiting Mass Communivation and The “Work” of the Audience in the New media Environment, mengkaitkan perkembangan audiens pada era new media yang sebenarnya tidak terlepas dari kepentingan bisnis para pemilik media. Napoli (2008) memberikan istilah ‘prosumers’ and ‘produsage’ untuk menunjukkan keaktifan audiens dalam memproduksi pesan. Dalam jurnalnya, Napoli (2008) berpendapat bahwa pesan tersebut adalah bagian dari komoditas.

Model ‘user generated content’ misalnya, dimana audiens diberi kebebasan untuk memproduksi informasi di dalamnya, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menarik para pengiklan yang mengincar para konsumen online. “The audience engaging in ‘watching as working’ merits extension in an environment of interactive media and user-generated content” (Philip M. Napoli, 2008).  Selain itu, para marketer mempunyai kepentingan memanfaatkan network yang terbentuk di dalamnya untuk mempromosikan produk secara gratis, salah satunya dengan mengandalkan teknik ‘word of mouth’.  Dalam artikelnya, Napoli menyatakan bahwa saat ini audiens tidak hanya sekedar menonton tetapi juga ‘bekerja’. Dallas Smythe (1977 dikembangkan oleh Napoli 2008) dalam tulisannya memaparkan, “they work to create the demand for advertised goods which is the purpose of the monopoly capitalist advertisers”.

Pandangan tersebut didasari paling tidak oleh dua alasan berikut. Pertama, lingkungan new media memberdayakan audiens untuk berperan sebagai receiver sekaligus sender dalam komunikasi massa, dimana kerja kreatif dari audiens tersebut mempunyai nilai ekonomi yang dapat dijadikan sumber penghasilan bagi organisasi media. Kedua, bukan hanya peran audiens sebagai kontributor pesan media yang dapat menghasilkan keuntungan, tetapi juga ‘kerelaan’ dari audiens untuk berkeja sebagai freelance marketer yang mendukung kinerja penyedia konten. Teknik ‘word of mouth’ alias ‘getok tular’ menjadi salah satu strategi yang jitu dalam pemasaran masa kini. Dalam hal ini, audiens berperan sebagai ’wageless labour’. Perkembangan terknologi tersebut bertemu dengan faktor penyebab kedua, social and economic forces. Kapitalisme global menguatkan asumsi audiences as market.

 

Citizen journalism vs Professional Journalism 

Perkembangan citizen journalism menggoyahkan bisnis media. Hal ini disampaikan oleh Yelvington (dalam James, 2007) bahwa internet telah mengubah media landscape dimana setiap orang berkesempatan untuk mempublikasikan apapun dengan murah dan efektif, tanpa memerlukan investasi modal ataupun operasional yang rumit. Hal ini membawa traditional journalism, terutama dalam segi ekonomi, mengalami chaos.

Disisi yang lain, seperti kebanyakan media berbasis internet, citizen journalism masih berjuang untuk menemukan model ekonomi yang sesuai. Sebagai bagian dari sebuah budaya, dimana dalam visinya adalah memberikan informasi secara gratis kepada masyarakat, tidak kemudian serta merta mampu menarik minat pengiklan yang dapat dijadikan sebagai sumber finansial. Websites yang berisi sharing permasalahan sebuah komunitas tertentu memberikan ruang sempit bagi pengiklan dibandingkan dengan situs-situs yang berinduk pada media mainstream tertentu. Selain itu, para pejuang citizen journalism pada awalnya juga bergerak sebagai alternatif dari media-media mainstream sehingga mengandalkan pada ‘kesukarelaan’ daripada penghasilan dari para pengguna ataupun partisipannya (Bentley, 2008).

Organisasi media menyadari bahwa mereka perlu untuk memperat hubungan dengan audiensnya, dimana audiens siap dengan perubahan peran. Bentuk relasi yang baru antara media dan audiens dilihat oleh Jack berpotensi untuk membentuk atmosfer konten jurnalisme yang lebih baik, dimana kedua belah pihak akan mendapat posisi yang sama-sama menguntungkan.

Selain itu, kesempatan yang dimiliki oleh media mainstream adalah merangkul participative media untuk bekerjasama, bukan hanya sekedar dalam hubungan adversary relationships. Ketika media membantu masyarakat berpartisipasi dalam komunikasi mengenai isu-isu publik maka akan membentuk sebuah social capital, yang nantinya akan berpengaruh dalam bidang sosial, politik, maupun bisnis, terutama bisnis media itu sendiri (Yelvington dalam James, 2007).

Ada berbagai bentuk media baru dalam menanggapi tantangan citizen journalism. Salah satunya adalah ‘umbrella model’. Alih-alih berusaha menyangingi keberadaan citizen journalism, media ini justru menggunakan konten yang ada dalam citizen journalism untuk memperbarui atau menata ulang kembali produknya. Keberadaan media seperti ini tidak bermaksud menyaingi keberadaan media mainstream tetapi justru ingin merangkul dan mengembangkannya. “The umbrella model of citizen journalism sees this the new medium as a way to enhance the company’s products rather than to compete with them.”(Bentley, 2008)

Selain model tersebut, ada juga model media yang menjadi semacam ‘kolektor’ bagi para aktivis citizen journalism. Situs semacam ini menarik banyak pengiklan karena sirkulasi membernya yang menjanjikan. Keberadaan situs semaacam ini menghadirkan kedekatan konten terhadap audiensnya, yang merupakan kontributor dari konten yang bersangkutan. Hal ini memberi kemudahan dalam menentukan keterbacaan dari situs tersebu.  (Bentley, 2008).

Hal yang perlu disadari adalah bahwa dalam kenyataannya sumber daya yang dimiliki oleh citizen journalism sangat terbatas, baik teknologi, financial, maupun sumber daya manusianya. Ditegaskan oleh Bruns bahwa poin dari keadaan ini adalah citizen journalism tidak ‘seharusnya’ bertujuan untuk menggantikan industri media yang selama ini berkembang. Alih-alih menantang keberadaan media mainstream, Bruns berpendapat bahwa citizen journalism justru dapat berperan sebagai pelengkap. Terkait dengan hal ini ada tiga dimensi kunci yang oleh Shirky (1999) disebut sebagai ‘resource horizon’.

Pertama, citizen journalism dapat meningkatkan keluasan koverasi media dengan reportase langsung dari area dimana jurnalisme pada media mainstream tidak dapat menjangkaunya, termasuk juga mengenai isu-isu yang selama ini kurang diperhatikan oleh media. Kedua, dapat menambah kedalaman koverasi dengan menawarkan evaluasi lengkap mengenai peristiwa yang sedang terjadi, ditambah dengan suara-suara kritis yang memungkinkan adanya koverasi yang multiperspektif. Ketiga, dapat meningkatkan koverasi isu over time, bahkan 24 hours, sirkulasi informasi dengan menggunakan teknologi informasi membuat informasi dan berita menjadi beragam.

Wijayana, seorang dosen komunikasi UNDIP, mencoba mengungkap mengenai sikap media mainstream di Indonesia terhadap kehadiran citizen journalism. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa pimpinan media mainstream di Indonesia, ada beberapa strategi yang dijalankan. Pertama, membuat versi online untuk mengimbangi informasi dari para citizen journalist. Kedua, bekerjasama dengan citizen journalist, bahkan ada yang menjalankan proyek bersama. Ketiga, menyaring informasi dari para citizen journalist. Hal tersebut menunjukkan bahwa media mainstream cenderung memilih untuk bekerjasama daripada melawan perkembangan citizen journalism. Sebuah strategi yang cukup cerdik untuk tetap mempertahankan keberadaannya, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa strategi ini akan mendatangkan keuntungan.

 

KOMODIFIKASI AUDIENS

Ada tiga tahapan perkembangan internet (Carveth & Metz, 1996 dikutip oleh Alison Alexander dkk, 2004). Pertama, tahap yang dikembangkan oleh the pioneers, yaitu para ilmuwan (scientist and engineers) yang memfokuskan fungsinya pada keamanan nasional. Kedua, tahap yang digunakan oleh ilmuwan dan akademisi (scientist and academics). Pada tahap ini, pengembangan internet mulai digunakan untuk pertukaran sumber daya dan informasi antar sesama. Ada kepercayaan bahwa kapasitas internet hampir tidak terbatas sehingga mempunyai peluang besar untuk memberikan kenyamanan dalam berinteraksi. Ketiga, tahap dimana internet mulai dilirik oleh para pemilik modal (people of capital) yang mencoba mencari peluang keuntungan dalam perkembangan internet. Tahapan tersebut memberikan gambaran bagaimana fungsi internet mengalami pergeseran yang signifikan, yaitu dari keamanan nasional dan juga kenyamanan masyarakat berubah didominasi oleh para pencari keuntungan. Meskipun tidak dapat dikatakan sebuah kesalahan, perubahan ini memberikan efek yang signifikan terhadap semangat kebebasan dan kepublikan yang diusung oleh media baru ini.

Dallas Smythe (1977 dikutip oleh Mosco, 2009 : 136) menyebutkan bahwa audiens adalah komoditas primer dalam media. Berdasarkan pemikirannya, media dilihat sebagai sebuah perusahaan yang memproduksi audiens dan kemudian ‘menjualnya’ kepada pengiklan. Konten media, seperti informasi dan hiburan, semata-mata diproduksi oleh media untuk menarik perhatian audiens. Smythe menganalogikan dengan ‘free lunch’ yang digunakan oleh media untuk ‘memaksa’ audiens untuk minum. Disini smythe menyebutnya sebagai audiences labour. Kecenderungan ini tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme global yang semakin lama semakin berkembang, mengintervensi industri informasi. “Capital, in its own manifold and contested manifestations, must actively construct audiences as it constructs labor” (Mosco, 2009 : 138). Dalam bahasa khas ekonomi politik, disinilah terjadi komodifikasi audiens.

Mosco (2009) memberikan peluang baru dalam mengkaji audiens dalam new media. Dalam kacamata Mosco, ada peluang audiens untuk bertahan dari komodifikasi yang dilakukan oleh media mainstream, melalui kekuatan partisipasi dalam new media. Namun, penulis melihat bahwa pelibatatan aktif audiens dalam citizen journalism yang bernaung dalam media mainstream justru menjadi sebuah bentuk baru komodifikasi audiens.

Melihat konteks Indonesia, ada beberapa kecenderungan yang sama mengenai kerjasama yang ditawarkan oleh media mainstream sebagai pemilik websites dengan para citizen journalist (sebagai target audiens) yang bersedia berkontribusi dalam portal berita media tersebut. Hal ini dapat diketahui dari disclaimer ataupun term of use dalam situs-situs citizen journalism yang ada di bawah naungan media mainstream (lihat : http://www.kompasiana.com/term, http://citizen6.liputan6.com/disclaimer). Media memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi audiens untuk mengirimkan berbagai macam informasi yang dirasa perlu untuk dipublikasikan. Namun, media melalui adminnya mempunyai hak untuk melakukan editing sesuai dengan keperluan. Hal ini dilakukan untuk menghindari berita-berita yang sensitif ataupun provokatif. Disini media mempunyai kuasa lebih untuk menentukan berita mana yang layak untuk ditampilkan dan berita mana yang tidak layak. Meskipun penyaringannya tidak begitu ketat, dapat dikatakan bahwa kuasa informasi tetap ada di tangan media.

Selain itu, kuasa media juga ditunjukkan dengan haknya menggunakan informasi yang diberikan oleh para pewarta warga sebagai bahan menyusun berita dalam media utama mereka. Meskipun hanya sebagai bahan mentah, sedikit banyak media tersebut terbantu menggali informasi. Padahal, para citizen journalist tersebut tidak mendapatkan kontraprestasi ekonomi secara langsung. Dalam perbincangan singkat dengan seorangreporter senior Liputan 6, pada saat launching citizen6 di kampus UGM 2011 lalu, menyebutkan bahwa tidak ada kontraprestasi tertentu diberikan kepada warga yang mengunggah beritanya di Liputan 6 versi konvensional (baca : televisi) maupun versi online. Begitu juga pada portal ‘citizen6’. Tidak ada kontraprestasi material yang diberikan secara langsung kepada para kontributor. Jika memang informasinya menarik, baru memungkinkan terjadinya bargaining. Itupun tergantung kesadaran pemilik informasi, apakah mau ‘menjual’ atau memberikannya begitu saja.

Kedudukan audiens, dalam hal ini adalah para citizen journalist, yang masih cenderung inferior juga ditunjukkan oleh ketentuan yang membebani mereka akan segala hal yang dikemudian hari dianggap bertentangan dengan hukum atau menimbulkan masalah. Media cenderung melepaskan tanggung jawabnya terhadap konten. Padahal, di sisi lain segala konten yang diunggah dalam portal mereka dapat digunakan secara bebas oleh media tersebut. Sebuah ketimpangan hak dan tanggung jawab antara media dengan audiensnya. Ditambah lagi dengan keuntungan yang mereka dapatkan dari pendapatan iklan. Dengan memberikan ruang yang luas bagi warga untuk berpartisipasi otomatis akan memancing lebih banyak orang untuk berkunjung ke situs mereka. Artinya, ranking situs tersebut akan naik dan pengiklanpun akan semakin banyak berdatangan. Disinilah keuntungan ganda yang diperoleh media mainstream dari jerih payah para citizen journalist.

 

PENUTUP

Semangat kejayaan audiens yang dibawa oleh new media bukan tidak mungkin harus pupus lagi, atau paling tidak tertunda. Kelihaian media mainstream dalam menghadapi tantangan zaman menjadi salah satu faktor yang menghambat perkembangan. Dikotomi antara audiens dan media tidak sepenuhnya hilang. Media tetap mempunyai kuasa lebih terhadap audiensnya, dalam hal ini adalah para citizen journalist. Bahkan, audiens dalam situs-situs citizen journalism tidak lagi hanya ‘dijual’ kepada pengiklan tetapi juga dipekerjakan secara gratis untuk mengisi konten dalam situs-situs tersebut.

Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi bahwa keadaan tersebut sepenuhnya buruk. Jika memang masyarakat dianggap diuntungkan tanpa harus dirugikan dengan keuntungan berlipat yang diperoleh media mainstream, kolaborasi ini dapat dilanjutkan. Tulisan ini menjadi awal untuk melihat lebih dalam lagi. Penulis berharap tulisan ini tidak hanya mampu menarik perhatian penulis sendiri untuk menggali lebih dalam, tetapi juga mampu menginspirasi pembaca untuk bersama-sama mengembangkannya. Sehingga, kajian mengenai citizen journalism di Indonesia akan semakin kaya. Kedepan, hasil kajian-kajian tersebut dapat menjadi bahan perbaikan bagi keberadaannya.

 

DAFTAR REFERENSI

BUKU

Alexander, Alison dkk. 2004. Media Economics : Theory and Practice. 3rd ed. New Jersey : LEA Publisher.

Allan, Stuart (ed). 2010. The Routledge Companion to News and Journalism. New York : Routledge.

Fenton, Natalie (ed). 2010. New media, Old News : Journalism & Democracy in the Digital Age. Los Angeles : Sage.

Gunter, Barrie. 2003. News and The Net. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Hill, David T. dan Sen, Krishna. 2005. The Internet in Indonesia’s New Democracy. New York : Routledge.

McQuail, Denis. 1997. Audience Analysis. London : Sage Publication.

Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. 2 ed. London : Sage Publication.

Yin, Robert K. 1989. Case Study Research : Design and Methods. London : Sage Publication.

 

JURNAL/ARTIKEL/WEBSITE

Bentley, Clyde H., Ph.D. 2008. Citizen Journalism: Back to the Future? http://citizenjournalism.missouri.edu/researchpapers/bentley_cj_carnegie.pdf Diunduh tanggal 3 Juli 2011.

Bowman, Shayne and Willis, Chris. 2003.  We Media : How audiences are shaping the future of news and information. http://www.hypergene.net/wemedia/download/we_media.pdf. Diunduh tanggal 3 Juli 2011.

Bruns, Axel. News Produsage in a Pro-Am Mediasphere: Why Citizen Journalism Matters.  http://snurb.info/files/2010/News%20Produsage%20in%20a%20Pro-Am%20Mediasphere.pdf. Diunduh tanggal 3 Juli 2011.

Ismayanti. Masa Depan Jurnalisme Warga di Indonesia. http://pustaka.ut.ac.id/pdfartikel/FIS10504.pdf. Diunduh tanggal 23 September 2011.

Jack, Martha. The Social Evolution of Citizen Journalism. http://cjms.fims.uwo.ca/issues/06-01/jack.pdf . Diunduh tanggal 3 Juli 2011.

James, Barry . New media The Press Freedom Dimension Challenges and Opportunities of New media for Press Freedom. 2007. http://unesco.org.pk/ci/documents/publications/New%20Media.pdf. Diunduh tanggal 3 Juli 2011.

Kurniawan, Moch. Nunung. 2007. Jurnalisme Warga di Indonesia, Prospek dan Tantangannya. http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/03_M_NunungKurniawan_Jurnalisme%20Warga%20Indonesia_Revisi_Ka%20eD.pdf. Diunduh tanggal 23 September 2011.

Livingstone, Sonia. 1999. New media New Audiences?. http://www.sagepub.co.uk/journal.aspx?pid=105720. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.

Merrin, William. 2009. Media Studies 2.0 : Upgrading and Open-sourcing the disciplinehttp://www.atypon-link.com/INT/doi/abs/10.1386/iscc.1.1.17_1. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.

Napoli, Philip M.. 2008. Revisiting Mass Communication and The Work of The Audience in The New media Environment.

http://www.fordham.edu/images/undergraduate/communications/revisiting%20mass%20communication.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.

Napoli, Philip M.. 2008. Toward A Model of Audience Evolution : New Technologies and The Transformation of Media Audiences. http://www.fordham.edu/images/undergraduate/communications/audience%20evolution.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.

Pavlenko, Tatjana. Interactive Media and Knowledge Environment. http://tpke.files.wordpress.com/2011/01/tatjana-pavlenko-initial-literature-review.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2011.

Wijayana, Nurul Hasfi dkk. ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/download/271/166. Diunduh tanggal 23 September 2011.


About Lisa Lindawati

My Academic Career was started in 2010 when worked as a research assistant at the Department of Communication, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada. Since 2014, have been working as a full time lecturer at the same institution. Particularly interested in media and communication studies with area of specialization in online journalism, community relations, developmental issues, and civil society empowerment.